Follow Us @soratemplates

Monday, December 28, 2020

Tukoni, Gerakan Dari Hati Di Masa Pandemi

December 28, 2020 15 Comments

 

“Orang pesimistis melihat kesulitan dalam setiap kesempatan. Orang Optimistis melihat peluang dalam setiap kesulitan.” (Winston Churcill)

 

Pandemi Covid-19 membuat semuanya berubah. Siapa yang mengira kita harus menjalani kehidupan yang benar-benar baru. Gerak langkah di dunia nyata mulai terganti ke dunia digital. Mulai dari menuntut ilmu sampai menjemput rezeki semua bertumpu pada jalur virtual. Mereka yang tidak bisa berdamai dengan kondisi saat ini, tentu akan terhenti dan tergantikan langkahnya.

 

Belajar dari rumah, bekerja dari rumah serta pemutusan hubungan kerja menjadi fenomena yang harus diterima. Dampak lain tentu saja adanya penurunan daya beli. Kebanyakan masyarakat mulai berpikir seribu kali untuk membeli makanan di luar. Situasi pandemi membuat para penjual harus menutup usaha mereka. Di sisi lain, para konsumen pun melakukan penghematan dengan memasak makanan di rumah agar lebih hemat dan higienis.

 

Tapi, tentu saja kondisi seperti ini bukan untuk dikeluhkan. Seperti halnya yang dilakukan oleh pria asal Jawa Barat yang hijrah ke Yogya, Revo Al Imran Sulaeman. Pria peraih Satu Indonesia Awards ini melahirkan sebuah gerakan yang sangat memberikan manfaat kepada pelaku UMKM. Bersama sahabatnya Eri Kuncoro, berusaha untuk merangkul pelaku UMKM yang terdampak  oleh pandemi Covid-19. 


Dua sosok kreatif ini mampu menjadi solusi di tengah kondisi yang tak pasti. Eri Kuncoro dan Revo Al Imran Sulaeman, hadir memberikan pintu keluar dari masalah yang ada saat ini.  Mereka tidak menebar ikan, namun memberi kail untuk bisa tetap bertahan di masa pandemi. Keduanya berpikir, situasi memaksa untuk terus begerak meski harus tetap berjarak.

 

#YukTukoni

 

Apa itu #YukTukoni

#YukTukoni merupakan sebuah gerakan pembelian dengan mengumpulkan produk dari para penggiat usaha makanan dan minuman, UMKM dan F&B Creator, ke dalam satu tempat yang bisa diakses dengan mudah. Sehingga akan terjadi transaksi dan bisa meningkatkan penjualan produk di situasi pandemi saat ini.

 

Perbedaan TUKONI

Apa bedanya dengan platform atau aplikasi yang sejenis yang sudah ada?

Tentu ada beda dan kelebihannya. Ada beberapa PERBEDAAN yang dimiliki TUKONI:

  • Tampilan produk dan harga lebih jelas
  • Promosi yang tepat sasaran
  • Ada pilihan produk kuliner hits
  • Lebih hemat dan banyak pilihan
  • Berbagai pilihan produk berkualitas dalam 1 tempat
  • Melakuakn QC produk mulai konsultasi, re-design dan pemotretan ulang
  • Belanja di satu tempat di banyak mitra dengan pengiriman cukup 1x


Alur kerja TUKONI

Program Unggulan

Selain itu, Yuk Tukoni juga memiliki Program Unggulan, yaitu:


Beli Dagangan Langganan


Program "Beli Dagangan Langganan" (BFL) merupakan sebuah inisiatif dari TUKONI untuk meningkatkan penjualan usaha yang terdampak Covid-19.


Pihak TUKONI akan menyeleksi satu produk setiap bulannya dan akan dibeli oleh pihak TUKONI, lalu dibagikan kepada kolega dan juga digunakan sebagai bonus pembelian.

 

Dan pada saatnya, pihak TUKONI akan membuka pemasanan pembelian produk tersebut untuk dapat meningkatkan penjualan dari para usaha langganan.

 

Kolaborasi Makanan Hits

Program unggulan ini digagas karena situasi pandemic yang membuat kita tidak bisa kemana-mana, termasuk berwisata dan menikmati kuliner khas. Karena itulah, TUKONI membuat program kolaborasi bersama Kuliner Hits di Yogyakarta dengan membuat versi Makanan Beku (Frozen Food) sehingga produk ini bisa kita nikmati di rumah.

 

Tidak hanya itu saja, TUKONI pun melakukan Re-packing produk. Alasannya sebagai solusi agar makanan bisa dinikmati oleh konsumen di rumah.

 

Mitra TUKONI

Awalnya, gerakan #YukTukoni ini hanya pada kelompok kecil lingkup pertemanan kedua foundernya. Namun hingga awal November, Tukoni telah bermitra dengan 120 penggiat usaha makanan minuman, UMKM dan F&B Creator.


 

Profil Founder TUKONI


Pencapaian dan Pemberitaan TUKONI

Pada bulan Agustus, terjadi lonjakan orderan. Ada 19,1 juta orang mengakses aplikasi Yuk Tukoni dengan volume penjualan mencapai Rp 1,08 miliar.



Dengan platform sederhana tapi bisa menggerakkan penjualan. TUKONI memilih instagram untuk display produk. Sedangkan untuk pembelian, kita bisa memesan via DM Instagram atau melalui Whatsapp Channel. 


Bagi teman-teman pelaku UMKM, inilah kesempatan kalian untuk bergabung. Berada di era tatanan baru ini, tentu saja kita tidak bisa memakai cara-cara lama. Melebur ke dunia digital adalah cara paling cerdas untuk bisa bertahan. 


Bagi teman-teman penikmat kuliner, platform #YukTukoni ini bisa menjadi solusi untuk tetap bisa menikmati makanan khas. Tidak hanya Yogya, karena #YukTukoni juga merangkul UMKM di wilayah Solo, Madiun dan Semarang. Saat ini layanan pesan kirim Tukoni sudah bisa melayani pengiriman ke luar kota Daerah Istimewa Yogyakarta. Coverage area Tukoni saat ini meliputi: Yogyakarta, Sleman, Bantul, Jakarta, Tangerang, Depok, Bekasi, Bandung, Solo, Semarang, Surabaya dan Denpasar.  Setidaknya rasa rindu akan kuliner hits bisa terobati dengan segera hanya dengan menggerakkan jari kita. 



Referensi Tulisan dan Gambar:

www.tukoni.id

https://www.instagram.com/yuktukoni

https://republika.co.id/berita/qjx9iq370/bergerak-untuk-umkm-yogyakarta-selama-pandemi

https://kumparan.com/teman-kumparan/atyuktukoni-gerakan-bantu-umkm-di-yogyakarta-agar-tak-padam-semasa-pandemi


Monday, December 21, 2020

Anak TK dan Aplikasi Mobile Di Masa Pandemi

December 21, 2020 20 Comments


“Ibu, Kakak hari ini Video Call atau Zoom Meeting?”

“Bu, ustadzah udah ngirim link youtube-nya?”

“Bu, Kakak hari ini jawab pertanyaan di Quizizz ya?”

“Ibu, beli ayam crispy-nya pakai aplikasi Go Food aja.”

 

Itulah contoh celoteh anak pertama saya yang masih duduk di bangku TK. Benar-benar tidak terbayang sebelumnya anak usia TK sudah sangat familiar dengan berbagai aplikasi mobile. Karena hampir setiap hari ia mendengar kata aplikasi, sampai-sampai semua hal selalu dihubungkan dengan aplikasi.

 

Pernah suatu hari, ia minta makan. Dan, saya pun mengatakan harus ke dapur untuk menyiapkan makanan kesukaannya itu. Ia pun mengatakan, “Aduh Ibu ini gimana sih, nggak usah masak, pakai aplikasi aja. Jadi Ibu tinggal main-main sama Kakak.” Terus saya tanya aplikasi itu apa. Dan, ia menjawab, “Aplikasi itu yang ada di handphone terus kita tinggal klik aja, nanti bayarnya juga tinggal klik, jadi nggak usah pakai uang.” Hmmm… Ada benarnya juga sih. Itulah Generasi Alpha, yang dari lahir saja sudah sangat dekat dengan yang berbau digital.




 

Selain karena perkembangan zaman, kondisi pandemi pun telah menggiring kita untuk lebih intim dengan dunia digital. Hampir setiap hari kita bersinggungan dengan beberapa aplikasi mobile. Mulai dari membuka mata di pagi hari, sampai tidur lagi pun, kita tidak bisa jauh dari aplikasi mobile.

 

Bisa dicek di setiap ponsel, pasti semua orang memiliki lebih dari 5 aplikasi mobile. Karena mungkin kita akan menjadi kaum minoritas ketika tidak mengenal dan menggunakan berbagai aplikasi mobile. Apalagi di saat wabah Covid-19 ini, semua hal serba di ujung jari dan genggaman. Tinggal sentuh dan klik, semua sudah didapat dan terselesaikan.

 

Menurut data dari perusahaan analisa pasar aplikasi mobile App Annie, di Quartal ketiga tahun ini, orang-orang di seluruh dunia menghabiskan 180+ miliar jam kumulatif menggunakan aplikasi mobile. Ini artinya terjadi peningkatan 25% dari tahun ke tahun. Aplikasi yang paling banyak digunakan ialah Facebook (termasuk Whatsapp, Messenger dan Instagram), Amazon, Twitter, Netflix, Spotify dan TikTok.

 

Masih menurut laporan yang dirilis oleh App Annie, pasar aplikasi mobile Indonesia mengalami pertumbuhan yang positif. Indonesia beserta empat Negara berkembang lainnya (Brazil, Mexico, Turki dan Indian) dinilai memegang peranan kunci dalam mempengaruhi pertumbuhan grafik yang signifikan dalam pertumbuhan pasar aplikasi mobile di dunia.

 

Hal ini tentu saja memberikan angin segar kepada para pengembang aplikasi mobile. Karena di era sekarang, aplikasi mobile sudah menjadi kebutuhan semua orang. Adanya perubahan pola pikir dan juga gaya hidup menjadikan manusia ingin sesuatu yang lebih praktis dan cepat.

 

Sudah bukan zamannya lagi hal-hal yang berbau konvensional. Dari mulai dunia usaha, pedidikan, bahkan yang berhubungan dengan sosial pun, membutuhkan aplikasi mobile.

 

Jika dilihat dari segmentasi usia, sejak muncul wabah Covid-19 ini, semua generasi membutuhkan dan menggunaka aplikasi mobile untuk menunjang aktivitas mereka. Aplikasi mobile tidak lagi menjadi hak orang dewasa, anak usia TK pun membutuhkannya. Mulai dari belajar, mencari hiburan hingga memenuhi kebutahan hidup, semuanya menggunakan aplikasi mobile. Bahkan saat ini, cari jodoh aja menggunakan aplikasi mobile.

 

Oleh karena itulah, ini merupakan sebuah kesempatan emas yang tidak bisa didiamkan begitu saja. Saat ini memang bukan hal yang sulit untuk mempelajari dunia digital. Ada banyak cara untuk bisa mengembangkan kemampuan di bidang ini.

 

Tidak harus kita mengambil kuliah dengan waktu belajar yang sangat panjang. Saat ini ada banyak lembaga kursus yang memberikan pelatihan membuat aplikasi mobile. Tentu saja, kita harus lebih cermat dan cerdas dalam memilih lembaga kursus. Pilihlah lembaga kursus yang bisa membuat kita tidak hanya sekadar tahu, tapi paham dan bisa menjadi ahli dalam membuat aplikasi mobile.

Sunday, December 13, 2020

Inilah Caraku Membersamai Buah Hati

December 13, 2020 15 Comments

 




“Kasihan dong, masih kecil udah dimandiin pagi-pagi.”

“Loh, kok jam 7 malam udah tidur?”

“Anak masih bayi kok udah dikasih buku?”

“Masih 2 tahun kok udah diajak ke masjid?”

“Baru 4 tahun kok udah diajarin puasa dan menghafal Al Quran?”

 

Parenting bukan sekadar kumpulan teori dari para ahli untuk mendidik dan mengasuh anak. Lebih dari itu, parenting ialah ilmu memahami diri kita sebagai sosok dewasa yang harus cerdas dan bijak dalam membersamai titipan Ilahi.

 

Karena saya alami sendri, menjadi orang tua itu membutuhkan ilmu. Apalagi ketika kita mau menanggalkan kebiasaan-kebiasaan warisan yang menurut kita kurang tepat untuk diterapkan.


Komentar-komentar mulai dari yang renyah sampai pedas level dewa pun sudah menjadi santapan sehari-hari saya dan suami sejak anak pertama kami hadir. Bagi sebagian orang di sekitar kami, cara kami mendidik itu berbeda, aneh dan tidak sesuai dengan kebiasaan pada umumnya. Mulai dari bertanya sampai nyinyir, sudah pernah kami rasakan.




Kebiasaan-kebiasaan yang kami terapkan sebenarnya bukan sesuatu yang aneh. Saya dan suami pun belajar dari orang-orang yang sudah berhasil mendidik anak-anaknya. Kami mencoba mencari formula yang pas, meracik dan menerapkan sesuai dengan kemampuan kami. Sesuatu yang baik darimana pun itu datangnya, akan kami ATM. Tapi, ketika sesuatu itu kurang baik, meskipun itu datang dari orang terdekat, maka kami berusaha untuk tidak melakukannya.

 

Bagi kami, mendidik anak itu bukan sebuah warisan atau kebiasaan turun temurun. Tapi, mendidik anak itu adalah proses belajar tanpa henti. Cara kami mendidik dan membersamai anak-anak, tentu saja akan berbeda dari cara orang tua kami dulu mendidik.

 

Mengapa? Karena kami sadar bahwa zaman telah berubah, maka kebiasaan dan pola pikir serta kondisi pun sudah berubah. Membersamai Generasi Alpha tentu saja akan jauh berbeda dengan mendidik anak Generasi Y.

 

Karena alasan itulah, kami terus belajar untuk menjadi orang tua. Banyak cara kami lakukan untuk meng-upgrade ilmu parenting. Mulai dari ikut seminar, membaca buku parenting, bergabung dengan komunitas, atau membaca artikel-artikel parenting di website seperti theAsianparent Indonesia.


Trial and error masih selalu kami lakukan sejak anak pertama lahir hingga saat ini. Ketika satu cara atau kebiasaan kurang berefek baik, maka kami pun akan mengganti dengan pola yang lain.

 

Saya ingin berbagi sedikit, mengapa hingga saat ini anak-anak saya terbiasa bangun pagi (sebelum shubuh atau telat-telatnya ketika adzan shubuh). Oya, anak pertama berusia 5 tahun dan yang kedua berusia 2 tahun. Apa saya membangunkan keduanya? Sama sekali tidak. Mereka bangun sendiri dan langsung minta mandi. Sebelum pandemi, biasanya suami mengajak anak pertama untuk ke masjid.

 

Kenapa mereka bisa seperti itu? Karena sejak bayi, ketika mereka terbangun jam 3 atau setengah 4, saya tidak kelonin lagi, tapi saya ajak bangun. Dan, kebiasaan itu, terus tertanam sampai saat ini.

 

Awalnya orang-orang terdekat sempat mempengaruhi agar anak-anak tidak dibiasakan bangun terlalu pagi, apalagi mandi sebelum shubuh. Tapi, saya dan suami yakin dengan apa yang kami lakukan. Kami tidak melakukannya dengan suruhan apalagi paksaan. Mereka melakukan itu karena terbiasa. Bahkan ketika sesekali mereka bangun kesiangan (pukul 5 pagi) karena mungkin terlalu lelah, mereka akan bertanya mengapa tidak dibangunkan.

 

Kebiasaan berikutnya yang katanya aneh adalah memberikan buku di saat mereka masih bayi, memperkenalkan Al Quran sejak mereka baru lahir dan mengajarkan berpuasa. Komentar pertama yang kami terima yaitu, “kasihan dong, masih kecil”.

 

Kami hanya mengiyakan setelah itu menutup telinga. Mengapa? Kami tahu dan yakin apa yang kami lakukan ini tidak melanggar dan memberatkan anak.

 

Untuk kebiasaan membaca, saya sudah mengajaknya membacanya sejak dalam kandungan. Saya dan suami pun memiliki hobi membaca, jadi anak-anak selalu melihat apa yang biasa kami lakukan, dan mereka pun meniru apa yang mereka lihat.

 

Memperkenalkan Al Quran. Inipun tidak jauh berbeda dengan membaca buku. Kami lakukan sebelum mereka terlahir ke dunia. Ini hanyalah ikhtiar kami agar mereka mencintai Al Quran dan juga bisa memahami serta mengamalkannya.

 

Mengajarkan berpuasa. Tentu saja ini bertahap, awalnya ketika usia 3 tahun, kami berikan buku yang bertema puasa. Saya coba ajak bercerita tentang keutamaan puasa. Ketika usianya menginjak 4 tahun, saya dan suami bertanya apakaha ia mau belajar berpuasa. Dengan mantap, ia menjawab iya. Kami pun mengajarkannya untuk berpuasa setengah hari hingga dzuhur, setelah itu boleh berbuka.

 

Bagi saya dan suami, menanamkan kebiasaan-kebiasaan baik itu tidak bisa instan. Semuanya membutuhkan proses. Karena itu, kami yakin di usia emas inilah, saat paling tepat untuk menanamkan nilai-nilai kebaikan tersebut. Tentu saja tidak dengan paksaan. Ada reward dan punishment yang sesuai dengan usianya yang akan mereka dapatkan.

 

Apa mereka mengenal gadget?

Saya dan suami sepakat untuk tetap mengenalkan gadget tapi tentu saja dengan aturan. Alasan kami tetap mengenalkan gadget, karena mereka lahir dan besar di era digital. Jangankan untuk bermain, saat ini, anak pertama saya yang masih di usia TK pun setiap hari harus mengikuti pembelajaran via Zoom Meeting lalu dilanjut Video Call bersama Ustadzahnya. Selain itu, setiap hari ada materi yang harus ditonton di Channel Youtube sekolahnya. Lalu, sebulan sekali harus menjawab pertanyaan di Quiziz. Kebayang dong, kalau mereka tidak mengenal gawai? J



 

Jadi, menurut saya, gadget itu bukan sesuatu yang harus dihindari. Namun, penggunaannya harus proporsional. Tentu saja dengan pengawasan orang tua. Anak saya mendapat jatah 2 jam Screen Time dengan pembagian waktu: setengah jam pagi setelah mengaji (menggunakan Smartphone), setengah jam setelah sekolah online (menggunakan TV), setengah jam setelah tidur siang (menggunakan TV) dan setengah jam sore hari setelah membaca buku (menggunakan Smartphone). Itu semua dilakukan dengan ditemani saya atau suami. Selain waktu-waktu itu, mereka tidak diperkenankan memegang gadget.

 

Bagi saya, menjadi ibu itu anugerah terindah dalam hidup. Bukan sekadar status, tapi sebuah proses belajar mendidik diri menjadi seorang teladan bagi titipan Ilahi. Berani melepas aktivitas yang sudah saya jalani sejak bangku SMA, demi membersamai buah hati, tentu saja tidak mudah.

 

Sejak bertukar Curriculum Vitae pada saat proses ta’aruf, saya dan suami saling bertanya tentang bagaimana cara pandang tentang mendidik anak. Setelah menikah, akhirnya kami sepakat dengan pola asuh yang sekarang sedang kami jalani.

 

Sebuah konsekuensi harus kami jalani dari komitmen yang telah disepakati. Saya  harus berhenti sejenak menjalani profesi pengajar bahasa. Saat ini, saya fokus mendidik dan membersamai dua buah hati. Saya sadar, masa anak-anak itu terbatas, mereka akan segera beranjak dewasa. Karena alasan itulah, saya tidak ingin kehilangan momen luar biasa ini.

 

Anak adalah titipan. Suatu saat kelak, pasti saya akan ditanya tentang titipan ini. Saya ingin Yang Maha Memiliki merasa senang karena saya telah menjaga dan merawat titipan dari-Nya dengan baik.



Saya adalah seorang Ibu yang masih harus terus belajar menjadi lebih baik. Karena bukankah seorang ibu itu madrasah pertama bagi anak-anaknya? Apa jadinya kalau saya berhenti belajar? Apa yang akan anak-anak teladani dari saya? Sejatinya, menjadi ibu itu merupakan profesi terberat sekaligus terindah.  I am very happy for being a mother of two children or maybe more. J

 

Friday, December 4, 2020

Ayo Lawan Kekerasan Berbasis Gender!

December 04, 2020 19 Comments

 



Berdasarkan Catatan Tahunan Komisi Nasional Perempuan 2020, adanya peningkatan jumlah aduan kasus Kekerasan Berbasis Gender Online (KBGO) 2019 sebesar 300 persen dari tahun sebelumnya.

 

Ranah kasus kekerasan terhadap perempuan yang dilaporkan adalah kekerasan dalam rumah tangga (KDRT)/Ranah Persoal (RP) sebanyak 69%, kemudian kekerasan di ranah komunitas sebanyak 30% dan kekerasan di ranah Negara sebanyak 1%.

 


Menurut penuturan Komisioner Komnas Perempuan Maria Ulfah Anshor dalam Webinar Kekerasan Berbasis Gender, bentuk kekerasan pada perempuan terbagi menjadi empat, yaitu: kekerasan fisik, psikis, seksual dan sosial. 

 

Bentuk kekerasan tersebut terjadi karena adanya relasi kuasa yang menciptakan ketimpangan hubungan kekuasaan antara perempuan dan laki-laki, serta ideology patriarki yang membesar-besarkan perbedaan biologis.

 

Dalam berbagai kasus kekerasan terhadap perempuan, stigma dan trauma berkepanjangan menjadi efek luar biasa yang dirasakan oleh perempuan sebagai korban. Kondisi seperti ini menjadi PR besar untuk dipulihkan.

 

Kasus kekerasan terhadap perempuan ini juga tidak hanya focus kepada perempuan dewasa. Tidak sedikit terjadi pula pada perempuan usia anak-anak. Hal tersebut juga dituturkan oleh pemateri lain dalam Webinar tersebut, Psikolog Anak dari Yayasan Pulih, Gisella Tani Pratiwi.

 

Mengapa terjadi pada anak-anak? Karena pola pikir dan kondisi perkembangan anak masih sangat sederhana. Mereka masih belum memiliki keberanian untuk mengatakan tidak.

 

Jenis kekerasan pada anak meliputi: kekerasan fisik, kekerasan psikis, kekerasan seksual dan penelantaran. Menurut Gisella, penelantaran merupakan kondisi yang membuat kebutuhan anak seperti pendidikan, tidak terpenuhi.

 

Kalau merujuk pada pengertian ini, tentu saja masih banyak di luaran sana yang melakukan kekerasan pada anak. Namun, masih banyak yang belum memahami hal ini. Dan, yang menjadi masalah terkadang pelaku kekerasan ini malah orang-orang di linkungan terdekat.

 

Indra Brasco, public figure yang memiliki 4 orang buah hati, memberikan tips agar anak-anak terhindar dari kekerasan, diantaranya:

  • Ø  menginformasikan kepada anak bahwa ia merupakan hadiah dari Tuhan, sehingga diri dan tubuhnya sangat berharga.
  • Ø  Mengingatkan atau memberikan edukasi kepada anak-anak bagian tubuh mana saja yang harus dijaga dan tidak boleh disentuh orang lain.
  • Ø  Mengajarkan sedini mungkin siapa saja yang boleh membuka baju saat anak akan mandi.
  • Ø  Meminta izin kepada anak ketika kita akan membukakan baju untuknya. Misalnya saja saat anak akan mandi.

 

Itulah tips yang bisa kita tiru. Mencegah dan lebih berhati-hati jauh lebih baik daripada kita menyesal di kemudian hari. Kekerasan terhadap perempuan dan anak harus benar-benar dihapuskaan.

 

Berkaca dari berbagai kasus yang terjadi, Komnas Perempuan mendesak Pemerintah dan DPR untuk segera mengesahkan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS). Perempuan dan anak pun memiliki hak untuk hidup tenang dan damai. Jadi, mulai saat ini, kita harus sama-sama memerangi kekerasan terhadap perempuan dan anak. Sebagai bangsa yang berkarakter, semoga Indonesia mampu menghapus kekerasan berbasis gender.