Indonesia
Emas 2045
Pada tahun 2045, tepatnya ketika negara ini
berusia 100 tahun, Indonesia akan mendapatkan Bonus Demografi. Di tahun itu,
jumlah penduduk Indonesia 70% berusia produktif. Jika kondisi ini tidak
dimanfaatkan, maka bukannya akan memberi efek positif, tapi malah sebaliknya.
Melihat fenomena tersebut, maka munculah
wacana Indonesia Emas 2045. Indonesia akan menjadi negara tangguh, mandiri, dan
iklusif di tahun 2045. Dengan bonus demografi, diharapkan akan tumbuh Generasi
Emas 2045, generasi muda yang berkualitas, berkompeten, dan berdaya saing
tinggi.
Indonesia Emas 2045 memiliki visi menjadi
negara nusantara yang berdaulat, maju dan berkelanjutan. Selain itu, Indonesia Emas
2045 memiliki empat pilar. Pertama, pembangunan manusia serta penguasaan ilmu
pengetahuan dan teknologi. Kedua, pembangunan ekonomi berkelanjutan. Ketiga, pemerataan
pembangunan. Keempat, pemantapan ketahanan nasional dan tata kelola pemerintahan.
Ketahanan
Pangan Sebagai Salah Satu Pilar Indonesia Emas 2045
Ketahanan pangan erat hubungannya dengan
kondisi makmur dan tangguh suatu negara. Ketahanan pangan yang baik bisa
menjadi cerminan terjaminnya dan layaknya kehidupan penduduk di negara
tersebut. Hal ini tentu saja menjadi factor penting untuk mewujudkan Indonesia
Emas 2045.
Berbicara tentang ketahanan pangan, tentu saja
erat kaitannya dengan sektor pertanian. Tidak bisa dipungkiri luas lahan
pertanian kita semakin berkurang dari tahun ke tahun. Jumlah petani yang
benar-benar memiliki lahan sendiri dengan jumlah yang pantas pun, masih kalah
dengan jumlah petani gurem. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun
2023, jumlah petani pengguna lahan pertanian di Indonesia sebanyak 27.799.280
petani. Sedangkan, jumlah petani gurem di Indonesia sebanyak 17.248.181 petani.
Berdasarkan data di atas, jumlah petani gurem
hampir setengah lebih dari jumlah petani pengguna lahan. Padahal kalau kita
perhatikan, keberadaan petani gurem ini masih kalah dengan para tengkulak.
Hasil yang didapat tidak seberapa, karena memang lahan pertanian mereka kurang
dari 0,5 hektar.
Para petani tersebut hanya cukup untuk menutupi
kebutuhan makan sehari-hari saja, bahkan mungkin harus ditambal dengan mata pencahariannya
lainnya. Terkadang bukan keuntungan yang didapat, malah mereka harus berhutang
kepada tengkulak untuk membiayai sawah mereka.
Jadi, tidaklah heran ketika jumlah petani
semakin berkurang, karena memang sangat tidak menjanjikan untuk dijadikan mata
pencaharian. Apalagi bagi Generasi Milineal, Generasi Z, dan juga Generasi
Alpha, menjadi petani bukanlah pilihan pekerjaan di masa depan.
Hal tersebut menjadi PR besar bagi negeri yang
katanya Negara Agraris ini. Lahan pertanian pun semakin berkurang karena banyak
alih fungsi lahan. Banyaknya pembangunan perumahan dimana-mana menjadikan luas
lahan pertanian kian menyusut.
Saat ini, keberadaan petani kian
terpinggirkan. Padahal harga beras dan bahan pangan lainnya semakin meningkat.
Lalu, pertanyaannya siapa yang diuntungkan?
Ketika petani hanya bisa bertani sesuai
tradisi tanpa adanya inovasi, maka tinggal menuggu tergerus zaman yang sudah
serba digitalisasi. Alam sudah memberikan sinyal agar kita semakin peka dengan perubahan
yang ada sekarang.
Harus ada solusi cerdas agar pertanian kita bisa
kembali lagi Berjaya di negari agraris ini. Agar kita bisa kembali lagi
swasembada pangan, dan tidak harus mengimpor beras dari negara lain. Bukankah
negeri kita ini kaya akan sumber daya alam? Tetapi masihkah telinga kita
mendengar ada tangisan kelaparan di negeri ini?
Sebuah kondisi ironi yang seharusnya tidak
boleh terjadi. Ketahanan pangan haruslah menjadi perhatian besar. Lalu, apa
solusi yang bisa ditawarkan?
Pertama, kembalikan fungsi lahan
pertanian. Harus ada peraturan yang tegas dan jelas tentang fungsi lahan. Undang-Undang
harus dibuat dan ditaati tanpa pengecualian.
Kedua, berikan edukasi kepada para
petani. Model pertanian seperti apa yang cocok untuk era sekarang. Tinggalkan
cara-cara lama yang memang tidak efektif. Teknologi pertanian harus semakin
disosialisasikan. Berusaha untuk terus berinovasi agar hasil yang dicapai bisa
maksimal.
Ketiga, Sosialisasikan tentang
konsumsi pangan lokal. Hal ini penting agar produksi pertanian bisa
terdistribusikan dengan baik. Petani tidak dirugikan dengan kehadiran pangan
impor yang katanya kualitasnya lebih baik.
Keempat, perubahan iklim saat ini
pun harus menjadi perhatian yang serius. Tentu saja perubahan iklim sangat
berpengaruh pada proses produksi pertanian itu sendiri. Oleh karena itu, hal
ini membutuhkan kerjasama berbagai pihak untuk semakin sadar dengan adanya
perubahan iklim. Pihak-pihak yang terkait harus terus mengedukasi masyarakat
untuk mengurangi hal-hal yang bisa menjadi pemicu pemanasan global. Dan,
sebagai masyarakat pun, kita harus memiliki kesadaran sendiri untuk perperilaku
ramah lingkungan.
Sebenarnya cukup empat hal ini dilakukan, maka
pertanian di Indonesia bisa benar-benar makmur. Peran serta semua pihak. Ya,
sekali lagi, semua pihak. Baik itu pemerintah, petani, dan juga masyarakat
saling berbimbing tangan memajukan pertanian di Indonesia.
Pemerintah membuat kebijakan dan juga pengawasan
yang betul-betul sesuai dengan aspirasi masyarakat. Tidak untuk kepentingan
pribadi dan juga golongan.
Petani juga memiliki kemauan untuk bekerja
sama dan meng-upgrade diri agar bisa tetap bertahan ditengan gempuran
perubahan zaman.
Masyarakat pun siap untuk ikut andil menjadi
bagian memperbaiki dan meningkatkan kualitas dan kuantitas pertanian di negeri
ini. Jadilah konsumen dari hasil pangan negeri sendiri. Banggalah dengan apa
yang dihasilkan dari tanah kelahiran kita.
Kalau semua sudah mau berbimbing tangan, maka Indonesia
tidak akan mengalami krisis pangan. Indonesia tidak akan menjadi negeri
pengimpor beras. Ketahanan pangan benar-benar bisa dinikmati semua warga,
sehingga melahirkan generasi yang sehat, makmur dan tangguh. Indonesia Emas
2045 pun akan terwujud.
No comments:
Post a Comment