Follow Us @soratemplates

Thursday, April 25, 2019

Backpackeran Bareng Balita dan Baduta (Part 2) "Edisi Jakarta & Bandung"

April 25, 2019 0 Comments



Welcome to Jakarta…
Alhamdulillah… Akhirnya tiba juga di ibu kota. Rencana awal kita mau bersih-bersih (mandi) di Stasiun Gambir. Alasannya selain memang ada fasilitas penitipan barang dan sekaligus tempat mandi yang nyaman, lokasinya pun dekat dengan destinasi pertama kami. Kenapa nggak di penginapan? Kami baru bisa check ini jam 12 siang. Tapi, memang traveller itu kudu punya muka tebal, suami pun melobi pihak guest house. Awalnya sih bilangnya mau nitip barang, tapi pas minta sekalian ikut mandi, eh dibolehin. Dan, pas kita nyampe sana, kita diberikan fasilitas kamar. Tadinya kita pikir mau dikasih pinjam kamar mandinya aja, tapi malah kita bisa pakai salah satu kamar, jadi bisa lebih leluasa mandiin plus dandanin 2 bocah hehehe…

Oya, FYI nih… Kami menginap di Kantos Guest House. Tempatnya di tengah kota lho, dekat kemana-mana. Mau ke Stasiun Gambir atau Monas cuman 10 -15 menitan. Mau ke Masjid Istiqlal juga paling cuman 15 menitan. Guest House ini juga dekat dengan minimarket terkenal. Di depannya banyak penjual makanan, minuman dan buah-buahan.

Terus, nyamannya nggak tempatnya? Menurut kami sih nyaman-nyaman aja. Ukurannya kamarnya pas, nggak terlalu luas tapi juga nggak kekecilan. Airnya bagus dan kamar mandinya bersih. Ada fasilitas wifi juga. Dan yang terpenting pelayanannya ramah lho. Tempat ini pokoknya recommended banget deh buah para backpacker.

Nah, kembali ke rencana jalan-jalan kami. Awalnya sih pengen banget ngubek-ngubek ibu kota. Secara kami kan jarang-jarang bisa menginjakkan kaki di kota ondel-ondel ini. Kalau mau ke sini aja, mesti cari waktu yang longgar banget (terutama buat pak suami sih hehehe…) dan juga rupiah yang nggak sedikit (maklum ongkos pesawat mahal masbro sekarang :D). Tapi, backpackeran sama baduta dan balita itu memang beda. Beda banget.

Ya, meskipun stamina kami cukup kuat, tapi kita berdua nggak bisa egois dong. Bagaimana pun juga kondisi tubuh anak-anak perlu dijaga. Bagi kami yang terpenting, icon Jakartanya udah kami kunjungi. Selain itu, anak-anak juga, terutama kakaknya terlihat puas dan senang.



Di Jakarta kami menghabiskan waktu 2 malam. Kami mengunjungi Monas, Bundaran HI, Masjid Istiqlal dan juga Kota Tua. Kalau masalah transportasi mah aman, namanya juga kota besar. Dengan adanya KRL dan juga taksi online nyaris nggak ada masalah mau pergi kemana pun juga.

Terus, gimana masalah makannya? Ada kejadian sedikit ngeselin tapi disenyumin aja. Jadi ceritanya pas turun dari kereta di Stasiun Senen, keadannya crowded banget. Jadi Pak Suami langsung aja nih pesan taksi online. Nah, si kakak karena jam biologis dia tuh jam 7 udah 2 kali sarapan hehehe… Jadi dia agak sedikit cranky gitu minta makan. Apalagi dia lihat tuh ada tempat makan ayam crispy yang namanya hampir sama dengan yang punya Kakek berkacamata itu.

Awalnya di dalam mobil, dia nangis minta makan. Tapi, untunglah supirnya pintar juga ngambil hati anak kecil. Selain itu, dia kan paling excited kalau lihat bangunan tinggi. Ya, namanya di Jakarta, di sepanjang jalan banyak banget kan bangunan pencakar langit. Sempat teralihkan sampai tiba di guest house untuk nitip barang dan mandi. Tapi, setelah mandi mungking perutnya udah nge-misscal minta diisi. Jadi, tanpa pikir panjang kita putuskan untuk nyari makan di Stasiun Gambir. Karena pastilah banyak pilihannya.

Nah, karena dari awal sudah kepengen ayam crispy, jadilah mau nggak mau kita masuk tuh ke warung ayam crispy yang ramainya luar biasa. Karena agak sedikt riweuh dengan kakaknya yang nggak sabar minta makan, Pak Suami nggak focus tuh pesan makanan. Alhasil, kita pesan makanan yang lagi dipromoin hadiah payung tapi harganya juga sebanding dengan beli payung itu. Awalnya kesal juga sih, tapi semuanya terobati dengan senyum sumringah seorang ibu tua penjual kopi ketika mendapatkannya. Ya, kami juga nggak bakalan bikin auto riweuh dengan backpackeran bawa payung segede itu.

Ok, kita lanjutin petualangan di ibu kota… Setelah makan, kami pun langsung menuju Monas. Kakaknya senang banget tuh pas nyampe sana. Lari kesana-kemari nggak bisa direm deh. Meskipun kita nggak bisa masuk, karena antrinya ruarrrr biasahhh, tapi kami puas kok bisa ngenalin ikon ibu kota yang satu ini.

Setelah lelah bermain-main di sekitaran Monas, kami pun meluncur menuju Masjid Istiqlal. Ini dia salah satu alasan saya dan suami pingin banget ngajak kakaknya ke Jakarta. Ia memang ngebet banget pengen ke Masjid Istiqlal. Banyak pertanyaan yang ia lontarkan ketika kami sampai di Masjid Istiqlal.

Kami pun melaksanakan sholat dzuhur dan juga ashar di Masjid Istiqlal. Karena kedua anak kami sudah sangat lelah, bahkan kakaknya sempat tertidur di masjid, jadi kami putuskan untuk kembali ke penginapan. Oya, sebelumnya kami mampir ke Rumah Makan Padang untuk makan siang. Posisi rumah makannya dekat penginapan, pas di depannya loh. Masakannya enak, dan yang terpenting harganya bersahabat banget di kantong hehehe…

Setelah perut terisi, kami pun memutuskan untuk kembali ke penginapan. Mata kayaknya udah nggak bisa diajak kompromi. Maklum namanya juga tidur di kereta, pasti nggak bisa senyaman tidur di atas kasur hehehe…

Sangking kelelahannya, kami pun terbangun satu jam sebelum adzan maghrib. Setelah mandi dan sholat, kami pun memutuskan untuk jalan-jalan ke Bundaran HI. Pingin aja merasakan suasana malam di kawasan ini. Oya, kami pun sempat mampir ke Plaza Indonesia, tapi bukan untuk belanja, hanya numpang ke toilet (Maklum bawa batita hehehe…). Setelah itu kami kembali ke penginapan.



Hari kedua… Taraaa… Setelah sarapan nasi uduk yang murah meriah, kami pun siap-siap meluncur ke Jakarta Utara. Yap, Kota Tua. Di hari kedua ini kami memang memutuskan untuk mengunjungi Kota Tua.

Dengan menggunakan KRL, kami pun sampai di Kota Tua sekitar pukul 9 pagi. Kakaknya awalnya sangat menikmati. Ia mau naik sepeda, foto-foto dan lari-lari. Tapi, mood-nya berubah seketika dan langsung cranky.

Masalahnya? Sepele sih, hanya karena kita mengajaknya duduk beristirahat di atas tikar dari plastic yang kami sewa seharga 10ribu rupiah. Anak pertama kami ini memang bersihan tingkat dewa. Ia paling nggak terbiasa dengan sesuatu yang menurutnya tidak bersih. Tapi, ketimbang kebawa emosi, mending didiamin aja alias dicuekin, terus dia capek sendiri, akhirnya memilih berhenti menangis dan kembali bermain dengan adiknya.



Setelah dirasa cukup, akhirnya kami pun memutuskan untuk pulang. Kami harus menjada kondisi anak-anak karena akan melakukan perjalanan ke Bandung esok harinya. Kalau keinginannya mah sih pengen sekalian ke Ancol, tapi kembali lagi jalan-jalan dengan krucil itu nggak boleh egois, dan harus tetap perhatikan kondisi fisik mereka.

Welcome to Bandung

Sebenarnya inti dari perjalanan ini sih pulang kampung ke Bandung. Tapi, kami ingin merasakan sensasi yang berbeda aja. Oya, kami juga sama sekali nggak memberi kabar kalau kami berempat akan silaturahim ke Bandung. Ya, sekali-kali bikin surprise, meskipun saya pribadi agak merasa bersalah karena harus berbohong ketika ditanya kapan pulang.

Kami menggunakan Kereta Api Argo Parahyangan pagi dari Stasiun Gambir. Meskipun kami pakai yang ekonomi, tapi nyaman juga lho. Karena kami berangkat pukul 4 dari penginapan, jadi kakaknya kelaparan. Kami pun membeli makan di kereta. Kami beli satu dan dimakan bertiga. Irit banget? Karena aku dan suami memang berniat makan pas nyampe Bandung saja.

Perjalanan dari pukul 5 pagi, akhirnya kami sampai di Stasiun Bandung pukul 9. Sebenarnya pengen banget ngabarin Kakak buat jemput, tapi niat ngasih kejutan harus tetap terjaga nih. Ya sudah, kami pun memesan taksi online. 

Hanya memakan waktu setengah jam, kami pun sampai di depan rumah. Taraaa... kejutan pun berhasil. Mamah dan Bapak sampai menangis karena tidak menyangka akan kedatangan cucu-cucunya. 

5 hari di kota Bandung pun dimanfaatkan buat kangen-kangenan plus jalan-jalan. Awalnya sih pengen ngajak Kakak Azka ke Masjid Agung Bandung, tapi atas saran kakak, akhirnya kami memutuskan untuk mengunjungi Balai Kota, Masjid Al-Ukhuwah, dan Gedung Sate. 



Puasss banget rasanya bisa menginjakkan di puncak Gedung Sate. Ah, nggak rugi punya kakak yang kemampuan lobinya sudah level tinggi. Saya pun merasa jadi orang Bandung asli kalau sudah menginjakkan kaki di bagian paling atas gedung tempat kerjanya Pak Ridwan Kamil ini.

Oya, kalau kalian penasaran berapa sih budget yang kami investasikan untuk backpackeran kali ini. Kami menginvestasikan sekitar 7 juta. Itu sudah terhitung semuanya, mulai dari tiket pesawat, tiket kereta api, penginapan, taksi online, dan makan. 

Menurut kami sih, itu sangat normal. Tiket pesawat untuk 3 orang aja sudah cukup lumayan. Apalagi bagi kami yang bawa 2 krucil, yang kadang maunya ada aja, unpredictable gitu. Itulah alasannya kami masih mengatakan pengeluaran ini termasuk normal dari mulai perjalanan Jember - Surabaya - Jakarta - Bandung dan kembali ke Jember. 

Intinya bagi saya dan suami, sebuah perjalanan itu bukan masalah jauh dan seberapa kami menghabiskan uang. Tapi, pelajaran dan kenangan. Ya, dengan melakukan perjalanan bareng pasangan dan juga anak-anak, kami merasakan banyak pelajaran, baik itu yang berhubungan dengan parenting maupun hal lain. Tidak hanya itu, kami merasa kelekatan diantara kami semakin erat. So, travelling is not only about going to somewhere, but with whom and the reason itself. 

Saturday, April 20, 2019

Berbagi, Tak Akan Membuat Rezeki Kita Terbagi

April 20, 2019 1 Comments



“Ibu, Kakak mau sedekah.”

Itulah kalimat yang selalu diucapkan anak pertama saya ketika melihat uang. Tidak jarang ia sedang anteng memasukkan uang belanja yang sengaja saya simpan di rak ke dalam kaleng sedekah shubuh. Atau, dengan tanpa beban, ia masukkan uang pemberian dari siapapun yang ia terima.

Ya, di rumah kami memang sengaja disediakan kaleng sedekah yang biasa kami isi di waktu shubuh. Biasanya setiap sebulan sekali, kami berikan kepada badan amil zakat.

Mendonasikan sebagian rezeki kepada amil ini sudah menjadi kebiasaan sejak awal menikah. Dulu sebelum kami pindah ke kota Jember, kami mempercayakan kepada Dompet Dhuafa.  

Apa yang kami lakukan mungkin tidak seberapa. Apa yang kami sedekahkan juga masih jauh dikatakan banyakbanya. Tapi, semua ini atas dasar tanda syukur dan sebuah pembiasaan. Ya, itulah alasan mengapa saya dan suami melakukan hal ini. Setelah kami menikah, kami baru tahu ternyata salah satu jalan Allah membukakan pintu jodoh adalah sedekah. Ada hal sama yang kami lakukan sebelum kami menikah. Meskipun kami sebelumnya belum pernah saling bertemu. Bahkan kami ngobrol berdua pun ada saat setelah akad.

Tapi, ternyata cara kami untuk minta disegerakan bertemu dengan jodoh hampir sama. Sedekah. Ya, kami sama-sama merayu Allah agar dipertemukan dengan orang yang tepat. Alhamdulillah wa syukurilah… Allah pertemukan kami berdua di saat yang tepat.


Karena asalan itulah, maka sejak awal menikah, kami sepakat untuk merawat kebiasaan sedekah ini. Diawali dari kami menyedekahkan sebagian mas kawin. Bukan karena tidak menghormati pemberian suami, namun saya pribadi memang sudah berniat untuk menitipkan ikatan cinta ini kepada Sang Khalik. Saya ingin lewat doa-doa anak yatim, pernikahan kami senantiasa dilindungi dan diberkahi oleh Allah SWT.

Sharing is caring. Sharing is loving. Rezeki itu seperti air, ketika kita mau mengalirkan air itu, maka manfaatnya akan jauh lebih banyak. Tapi sebaliknya, ketika kita hanya mengendapkannya, maka akan banyak penyakit yang datang. Yap, itulah yang selalu tertanam dalam benak saya dan suami. Ketika kita memberi, maka secara otomatis kita pun akan menerima. Tak perlu menunggu waktu lama, pasti balasannya akan segera kita rasakan.

Saya berbicara tidak sedang mengkhayal ataupun menceramahi siapapun. Tapi, saya sedang berbagi apa yang saya dan suami saya rasakan. Keajaiban atau efek positif dari memberi itu sangat luar biasa.

Sebenarnya kalau dituliskan, banyak sekali yang sudah kami rasakan dari efek berbagi. Tapi, izinkan saya untuk berbagi kisah yang menurut saya benar-benar di luar nalar manusia. Namun, satu hal yang saya tanamkan dalam hati, tulisan ini bukan untuk kecongkakan kami berdua. Saya dan suami hanya ingin berbagi kisah dan semoga bisa menjadi jalan kebaikan bagi semuanya.

  • Disegerakan diberi momongan

Tidak pernah terbayangkan saya dan suami langsung diberi amanah buah hati. Sebuah pernikahan tanpa saling mengenal sebelumnya tentu bukan hal yang mudah untuk saling melebur. Tapi, dengan izin Allah, tanpa harus menunggu lama, Allah menitip janin dalam rahim saya.

  • Ketika Nyawa Dipertaruhkan

Masih berhubungan dengan buah hati. Saat usia kandungan masih 8 bulan, saya mengalami pecah ketuban. Dokter sudah berusaha memberikan suntikan penguat paru janin agar bertahan sampai usia yang pas untuk dilahirkan. Selain itu, ketika di USG, berat badan bayi pun masih belum cukup. Namun, Allah berkehendak lain, 3 jam setelah disuntik, saya mengalami kontraksi yang luar biasa tapi belum ada pembukaan satu pun. Dan, tepat pada pukul 21.55, saya langsung mengalami pembukaan sepuluh dan bayi pun lahir. Alhamdulillah… Ternyata prediksi dokter semuanya meleset. Awalnya saya diperkirakan tidak selamat karena biasanya dengan terjadinya pembukaan sepuluh langsung, maka si ibu akan mengalami pendarahan hebat. Tapi, Alhamdulillah, saya tidak mengalaminya.

Yang kedua, anak yang terlahir di usia kandungan 8 bulan, ia dikatakan premature dengan berat badan rendah dan biasanya harus masuk incubator. Saya kembali bersyukur, ia terlahir dengan kondisi normal dan sehat. Bahkan kami bisa pulang ke rumah keesokan harinya.

  • Nyawa Ketiga

Tepat seminggu setelah lahir, anak pertama saya divonis kadar bilirubinnya tinggi. Pertanyaan dokter saat itu, apa mau dirawat di Rumah Sakit (disinar) atau mau diberikan treatment di rumah saja. Saya dan suami memilih opsi kedua. Kami kembali merayu Allah, agar diberikan yang terbaik. Alhamdulillah, dua minggu kemudian, buah hati kami dinyatakan sehat.

  • Nyawa Keempat

Inilah ujian yang luar biasa berta bagi saya dan suami. Ketika kesehatan buah hati kami kembali diuji. Ia divonis aspirasi ASI. Saat itu, usianya baru 1 bulan. Rasanya tak tega melihat ia masuk ruang NICU dan kami hanya diberi kesempatan mengunjunginya 2 kali sehari. Keyakinan dan kesabaran kami kembali diuji. Saya dan suami tak pernah lelah merayu Allah setiap saat. Kembali lagi, Allah begitu baik kepada kami, buah hati kami hanya 5 hari dirawat. Itu semua bahkan diluar prediksi dokter dan perawat. Proses penyembuhan sangat signifikan dan membuat semua dokter dan perawat kagum dan merasa aneh. Tidah hanya itu, tiga hari setelah keluar dari Rumah Sakit, ia kami bawa perjalanan jauh Cimahi – Lumajang – Jember menggunakan kereta api dan dilanjutkan dengan mobil, karena memang kami harus pindah ke kota tersebut. Alhamdulillah ia tetap sehat.

Itu hanyalah sedikit kejadian dari banyak kejadian yang kami alami. Terkadang efek bersedekah membuat kami sendiri tidak percaya. Apa yang awalnya kami nilai tidak mungkin, ternyata bisa kami dapatkan dengan mudah.

Nggak perlu takut miskin atau hidup kekurangan dengan kita berbagi. Tapi, yakinlah akan janji Allah. Kami berdua merasakan rezeki itu seperti diantar, baik itu rezeki materi maupun rezeki berupa kesehatan dan lain-lain.

Saya dan suami selalu mengatakan ketika kita bersedekah, itu sama saja dengan kita berasuransi kepada Allah. Nggak perlu hitung-hitungan, karena pasti Allah pun akan membalasnya, bahkan tanpa kita minta. Kalkulator Allah jauh lebih paham akan kebutuhan makhluk-nya.


Intinya, yang jauh lebih penting itu apa yang kita berikan itu harus benar-benar diikhlaskan. Kita hanya tinggal berdoa dan menjaga ucap serta perilaku setelah melakukan sedekah, setelah itu biarkan semesta mendukung melangitkan apa ingin kita. Saya dan suami percaya, dengan berbagi, rezeki kita tak akan terbagi. 


"Tulisan ini diikutsertakan dalam Lomba Blog Jangan Takut Berbagi yang diselenggarakan oleh Dompet Dhuafa."

Monday, April 15, 2019

Bukti Nyata Rasa Cinta Alfamart Terhadap Perempuan dan Lingkungan

April 15, 2019 2 Comments



Alfamart, salah satu perusahaan ritel yang sudah sangat familiar di telinga kita.  Sebagai toko swalayan yang memiliki banyak cabang di Indonesia, Alfamart selalu ikut andil dalam upaya pemberdayaan perempuan dan UMKM. Alfamart berusaha menjadi partner bagi pengembangan usaha dan pemberdayaan perempuan.



Sebagai contoh, Alfamart rutin menggelar pelatihan pemberdayaan khususnya perempuan. Peserta yang memang semuanya perempuan mendapat ilmu baking. Tentu saja ilmu ini sangat berguna, tidak hanya untuk dicoba di rumah, namun bisa juga menjadi ide usaha baru.




Selain itu, peserta pun diajak untuk mengenal bagaimana usaha mereka bisa menjalin kerjasama dengan Alfamart. Store Sales Point Alfamart, Bapak Taufik memaparkan dengan jelas tentang peluang produk kita bisa dipasarkan di Alfamart. Dijelaskan mulai dari produk yang seperti apa dan bagaimana caranya agar bisa menjual produk di Alfamart.

Mungkin timbul pertanyaan, sulit nggak sih menjual produk kita di Alfamart? Sama sekali tidak kalau memang memenuhi syarat. Ya, tentu saja produk yang akan dijual di Alfamart harus memenuhi beberapa syarat, diantaranya:
  • Kesesuaian segmen Alfamart
  • Ketersediaan tempat (space terbatas)
  • Potensi permintaan pasar
  • Tren penjualan barang atau kategory barang tersebut
  • Keterkaitan kategori barang (diusahakan tidak duplikasi)
  • Dukungan atas ketersediaan barang


Nah, kalau sudah sesuai, maka Alfamart akan menerima produk UMKM tersebut. Muncul pertanyaan, bagaimana sih proses pengajuan produk kita? Ada beberapa tahapan yang harus dilakukan untuk mengajukan produk baru, yaitu:





Selain itu, ada beberapa hal yang harus kita jelaskan dan dibawa ketika bertemu buyer. Apa saja?
  • Sample produk
  • Daftar harga
  • Produk knowledge
  • Kondisi yang diberikan oleh supplier
  • Status Supplier (PKP/NPKP)
  • Dukungan promosi lainnya (missal: iklan TV/radio, promosi di toko Alfamart, dll)


Di Jember, kita memiliki beberapa produk UMKM aktif, diantaranya:













Dalam acara yang digelar kemarin pun, Alfamart pun mengkampanyekan pengurangan penggunaan kantong plastik. Plastik memang sangat praktis, tapi efek negatif yang kita peroleh jauh lebih besar dari kepraktisannya. Sifatnya yang sulit terurai bahkan hingga ribuan tahun, bisa mencemari lingkungan.




Seperti yang kita dengar, ada banyak fakta mengerikan yang disebabkan penggunaan kantong plastik, diantaranya:
  • 9,8 miliar sampah plastik pertahun
  • 1 orang menggunakan lebih dari 700 lembar kantong plastic pertahun
  • Indonesia menjadi juara 2 penyumbang limbah plastik ke laut terbesar (187,2 juta ton)


Mengerikan. Ya, dengan 3 fakta itu saja, seharusnya sudah membuat kita sadar. Tapi, memang semuanya pilihan, apa kita mau menutup telinga dan mata? Atau, kita mau melakukan sesuatu yang bisa membuat bumi ini kembal tersenyum?

Apa yang harus kita lakukan?
  • Reuse è Gunakan kembali tas belanja yang masih bisa digunakan
  • Recycle è Pilah-pilih dan daur ulang plastik bekas
  • Reduce, Refuse è Kurangi penggunaan kantong plastik, bahkan tolak selagi bisa
  • Rethink è Sebelum memakai kantong plastik, pikirkan kembali! Apakah kita benar-benar membutuhkan?



  


Alfamart pun tidak ingin hanya berdiam diri saja. Alfamart berusaha untuk ikut andil dalam menjaga lingkungan. Dengan mengeluarkan kebijakan kantong plastik berbayar kepada konsumen, ini merupakan bukti nyata rasa cinta Alfamart untuk menjaga lingkungan. Karena kalau bukan kita, siapa lagi? Kalau bukan sekarang, kapan lagi? 

Sunday, April 14, 2019

Backpackeran Bareng Balita dan Baduta (Part 1)

April 14, 2019 0 Comments



Backpackeran? Siapa takut. Itu yang terlintas ketika paksu menawarkan untuk mencoba backpackeran. Ada dua pilihan, Batu – Jogjakarta atau Jakarta – Bandung. Ah, malaikat juga tahu saya bakalan pilih mana hehehe… Secara sudah hampir setahun nggak pulang kampung, pastilah saya pilih Jakarta – Bandung.

Seminggu sebelum berangkat, kami berdua mulai mempersiapkan semuanya. Tapi, jujur saja, persiapan itu lebih ke obrolan, karena kita berdua mah gitu orangnya. Seminggu sebelumnya itu kita lebih ke searching tiket sih. Ya, nyari-nyari tiket murah, banding-bandingin antara pesawat atau kereta. Maklum kita berdua lihat dari berbagai sisi juga.

Setelah diskusi, kami pun memutuskan untuk berangkat menggunakan kereta api dan pulangnya menggunakan pesawat. Sebenarnya ada plus minus sih menggunakan kereta api, apa aja? Nanti deh kita berdua bakalan bahas satu persatu ya…

The D-Day is coming. Sabtu, 22 Desember pukul 8.30, kami berempat berangkat menuju stasiun Jember. Rencananya sih mau berangkat pukul 8.00, tapi maklum kita harus menyesuaikan dengan psikologis dua krucil yang tidak bisa dipaksa dan diburu-buru. Untunglah, kami bisa tiba di stasiun 15 menit sebelum kereta api datang.



09.00, kereta api mulai melaju menuju Surabaya. Perjalanan 4 jam di kereta. It’s the first time untuk anak kedua kami. Sempat khawatir dia bakalan rewel di kereta, tapi Alhamdulillah dia malah menikmati dan tersenyum terus karena banyak yang godain hehehe… (hadeuhhh…nih anak memang suka tebar pesona…). Kalau kakaknya sih sudah teruji dibawa jalan jauh, di usia 1 bulan saja sudah naik kereta, dan di usia tepat 2 tahun, semua moda transportasi sudah ia coba. Pokoknya dia mah traveller sejati.

  
Ok, kembali ke cerita travelling kami. Perjalanan menuju Surabaya tidak menemukan kendala apapun. Dua anak hebat masih bisa kendalikan. Tepat pukul 13.30 kami sampai di Stasiun Gubeng.

Nah, di sini nih yang bikin kami harus muter otak. Kami mulai atur waktu dengan kondisi stasiun dan juga anak-anak. Karena mushola berada di dalam, jadi kami putuskan untuk makan terlebih dahulu. Setelah makan, kami langsung masuk kembali ke stasiun dan bergantian ke mushola. Karena anak-anak tidak terbiasa panas, jadi dengan gerak cepat, kakaknya dimandikan ayahnya dan adiknya saya seka.

Menurut kami, ini penting banget, menjaga kenyamanan anak-anak. Karena kalau sampai mereka kepanasan dan nggak nyaman, otomatis bawaannya rewel. Jadi, kita harus ngalah riweuh sedikit yang penting nggak bikin mereka bad mood.

Oya, seandainya di Stasiun Gubeng itu seperti di Bandara, ada ruang lakatasi dan juga ada kamar mandinya, jadi kita bisa jauh lebih nyaman melakukan perjalanan. Dua fasilitas ini seperti sederhana, tapi bagi para traveller penting banget lho. Bahkan kemarin itu, saya menyeka anak saya yang masih bayi di mushola. Meskipun saya sadar itu kurang sopan, tapi tidak ada lagi tempat yang lebih nyaman untuk bayi. Dan, cara saya ini ternyata diikuti dua orang ibu yang sama-sama kebingungan untuk mengganti popok anaknya.

Satu lagi yang seharusnya menjadi perhatian pihak Stasiun Gubeng, mushola. Kalau boleh nih saya kasih saran, siapa tahu ada yang baca dari pihak terkait, agar musholanya bisa lebih nyaman. Saya tidak menuntut untuk diperbesar, tapi mungkin lebih terawat lagi.

Ok, kembali ke cerita saya ya… Tepat pukul 3 sore, kami berempat check in. Dan, tidak berapa lama, kereta pun tiba. Taraaa… Wah, ternyata keretanya nyaman banget. Tempat duduknya enak, nggak sumpek, dan AC-nya nggak abal-abal. Dan, keuntungan kami saat itu, perjalanan dari Surabaya hingga Jawa Tengah, penumpang masih sepi, jadi leluasa deh bisa tidur-tiduran.



Sebenarnya jujur saja, saya dan suami agak sedikit khawatir untuk perjalanan panjang dari Surabaya ke Jakarta. Kami takut kakaknya bakalan cranky dan adiknya tidak terbiasa tidur di kereta. Tapi, Alhamdulillah… perjalanan pun bisa terlewati dengan menyenangkan. Si kakak dan adiknya bisa tidur pulas. Kakaknya bangun pas di daerah Jawa Tengah karena ada penumpang yang mau duduk di sebelahnya. Sempat bad mood sih, tapi bisa teralihkan dengan disuapin makan dan akhirnya tidur lagi sampai kereta mau berhenti di Stasiun Pasar Senen.

bersambung ke postingan berikutnya ya... :)


Friday, April 5, 2019

Harga Gledek, Anugerah Bagi Traveller Berdigit Pendek

April 05, 2019 0 Comments

“Backpackeran lagi, yuk!” ajak suami.

Ah, kalau mendengar ajakan itu, rasanya sulit untuk menolak. Sebagai guru private 24 jam dari 2 bocah, jalan-jalan itu salah cara pembelajaran bagi anak-anak. #NyariAlasan hehehe… Tapi, selain itu, sebagai aktivis kuliner, jalan-jalan itu sebagai salah satu cara menampung inspirasi dari berbagai rasa makanan baru. Oya, satu lagi nih alasan yang paling sesuai dan lubuk hati yang paling dalam, bagi emak-emak yang dinas di rumah dari mulai matahari terbit sampai terbenam, jalan-jalan itu sebuah kenikmatan dan hadiah yang luar biasa.

Eh, tapi serius nih… Kenapa sih aku dan suami senang banget jalan-jalan. Padahal kami tuh rumah aja masih ngontrak, mobil belum punya, tabungan juga nggak banyak-banyak. Tapi, kok kami nekat banget ya, buat jalan-jalan. Dari mana uangnya? Sayang kan uangnya kalau dipakai jalan-jalan, mending ditabung?

Ah, meskipun tabungan kami masih berdigit pendek, tapi pemikiran kami nggak sependek itu. Nabung ya nabung. Punya rumah? Ya, harus atuh. Ini juga lagi berusaha. Tapi, hidup itu harus dinikmati. Dan, yang terpenting kita harus bisa meninggalkan kenangan indah untuk orang-orang terdekat kita. Selagi masih ada promo, jalan-jalan masih bisa disiasati kok. #PemburuPromo #TravellerModalNekat

Tapi, aku dan suami memang mencari sebuah esensi dari aktivitas jalan-jalan yang kami lakukan. Esensi. Aihhh… Sok gaya ya, ngomongnya, esensi. Temannya es tong-tong? Hehehe… Sekali lagi, ini serius lho. Aku dan suami senang banget keliling, ya mulai dari sekitaran kota Jember sampai backpackeran ke Jakarta dan Bandung dengan bawa batita dan baduta, itu punya alasan dan tujuan. Ini salah satu cara kami merawat kelekatan satu sama lain. Karena kami yakin dengan melakukan perjalanan, kami akan jauh lebih memahami. Bukankah berumah tangga juga sebuah perjalanan cinta tanpa jeda?

Aiihh… bahasanya udah mulai bikin baper nih… Ok, ok… kembali ke soal perjalanan sebenarnya ya… J Sebagai pendatang di kota tembakau ini, keliling ke pelosok Jember memang menjadi sesuatu yang baru dan mengasyikkan bagi si aku ini. Pulang-pulang bisa jadi bahan tulisan tuh. Apalagi dengan menghadapi orang-orang keturunan Madura yang masih kental dengan bahasanya, roaming tingkat internasional deh. Senyuman menjadi bahasa universal dan bisa diterima oleh siapapun. Oya, yang bikin ketagihan juga mencoba berbagai macam kuliner baru khas bumi pendhalungan ini yang belum pernah aku coba.

Nah, ceritanya akhir tahun 2018 kemarin kami menjajal backpackeran dengan membawa duo krucil. Setelah melakukan backpackeran perdana membawa dua bocah yang aktifnya nggak ketulungan, kami mulai kecanduan. Ya, kami di tahun ini pun kami berencana ingin mengajak mereka meng-explore kota Malang dan Batu. Kenapa dua kota itu?

Hmmm… Kembali ke alasan pertama, karena emaknya memiliki jiwa guru private yang tinggi, jadi pengen banget ngajarin kedua krucil untuk tawa satwa secara langsung. Secara kan otak mereka masih bersih jadi mau menginstall program apapun, dengan mudah bisa langsung masuk dengan cepat. Nah, karena jiwa bertanya yang luar biasa, dua kota itu bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan mereka tentang satwa yang selama ini sering diajukan kepada emaknya ini.

Kenapa nggak ke Bandung dan Jakarta. Oh, itu sih pasti setiap tahun kita harus ke sana. Tapi, kalau dua kota itu harus punya waktu yang lumayan luang. Soalnya kan sekalian pulang kampung. Tapi, kita memang sudah merencakan untuk backpackeran lagi ke ibu kota dan kota kembang. Masa sebagai warga Indonesia nggak nyobain MRT, sama sekalian juga pengen tahu Taman Dilan hehehe…

Nah, kalau yang lagi direncanakan dalam waktu dekat sih, ya kota Batu dan Malang. Soalnya aku dan suami sudah kepalang janji juga sama anak pertama kami. Jadi ya, mau nggak mau ya harus tetap jadi backpackeran ke dua kota tersebut, meskipun masih melihat waktu dan menghitung budget juga.



Karena alasan itulah, terutama alasan yang kedua sih, aku ikutan kompetisi ini. Siapa tahu dapat rezeki lewat tiket.com. Seandainya aku mendapatkan Harga Gledek, ya pingin banget mewujudkan rencana yang sempat tertunda.

Karena jujur aja nih ya, se-backpacker-backpackeran, kalau bawa dua batita dan baduta mah ya kudu aja nyiapin dana berlebih. Namanya anak, kan suka unpredictable. Kalau kita bisa menahan diri untuk nggak makan atau jajan di kereta, misalnya. Nah, anak-anak, bisa nangis kejer bin cranky kalau sampai ada keinginanya yang nggak bisa didapatkan.

Sebenarnya kalau anak-anakku masih bisa dikondisikan sih. Tapi, itung-itungan kemarin aja pas backpackeran ke Jakarta dan Bandung, selalu ada biaya tak terduga. Misalnya nih, sudah direncakan makan di tempat A biar sesuai dengan rencana budget yang dikelauarkan. Eh, tapi tiba-tiba ayam crispy dengan merek terkenal di depan mata bocah. Ya, sudahlah ganti rencana deh. Bukan karena nangis juga sih, tapi karena itu makanan favoritnya, dia langsung melipir aja masuk.

Oya, kalau seandainya menang nih. Pede amat ya si aku ini hehehe… Ya, kan punya impian yang positif itu harus lho. Ya, ini sih seandainya, ini bakalan jadi hadiah ultah diriku juga. Jadi, itung-itung membahagiakan emak-emak yang sehari-hari bertugas di rumah ini.

Nah, jadi jelas kan, alasannya ada tiga, kenapa emak-emak ini ngebet banget pingin menangin Harga Gledek. Kalau kata peribahasa sih, sekali mendayung, dua tiga pulau terlampaui. Niat awalnya pingin nyenengin anak, tapi sekalian juga emaknya senang karena refreshing plus punya bahan buat dituangin di blog. Dan, yang terpenting bisa merawat cinta bareng pasangan dan anak-anak juga. Cakep kan?