Follow Us @soratemplates

Sunday, November 26, 2017

Lima yang Berbeda

November 26, 2017 1 Comments
Kebiasaan membaca bareng ketika kami masih kecil


Entah karena rasa kangen untuk bisa berkumpul dengan keluarga besar, hari ini aku pengen nulis tentang ikatan persaudaraanku dengan keempat kakakku. Memiliki empat orang kakak itu artinya ada empat karakter yang dekat denganku. Semuanya mempunyai kelebihan sendiri-sendiri.


Ok, kita mulai dari kakak pertamaku. Orangnya lebih banyak diam, tapi kalau udah marah, semuanya nggak ada yang mau ikut-ikutan berkomentar. Meskipun dia berlagak sok cuek, tapi aku yakin dia tuh perhatian banget sama adik-adiknya. Badannya boleh kekar, tapi hatinya lembut, maklum karena bergolongan darah A heheh.... Oya, dia tuh paket komplit lho, dia tuh cerdas pake banget pokoknya, dari mulai SD sampai kuliah, nilai-nilainya selalu di atas rata-rata. Nggak hanya itu, bahasa asingnya jago lho. Untuk public speaking, dia mah nggak usah ditanya. Dunia tulis menulis? Beuh... nulis apapun juga enak banget bacanya, mulai dari yang penuh teori, sampai puisi yang bikin melted juga, dia jago banget. Beladirinya juga bisa dicoba deh. Pokoknya paket komplt deh.


Kalau kakak yang kedua, orangnya kalem abis. Dia tuh sosok yang wise banget. Terus, kalau masalah ibadah dan keistiqomahan amalan sunnah, dia banget deh. Orangnya paling nggak suka kalau diajak ngobrolin orang lain. Dia tuh sosok yang baik hati banget. Kalau mau ngasih ke orang, nggak perlu banyak omong.  Oya, dia juga cerdas lho. Pokoknya kakak pertama dan keduaku itu kecerdasan lebih dari kami adik-adiknya hehehe...

Nah, sekarang kita bahas kakak yang ketiga. Kalau kakak yang ketiga itu gokil abis orangnya. Pokoknya selalu ada yang bikin ketawa kalau lagi ngobrol sama dia tuh. Dia tuh yang bikin suasana ngumpul jadi rame banget. Orangnya ramah dan supel plus suka TP (Tebar Pesona), sampai-sampai mantanya nggak bisa dihitung pakai jari hehe... Tapi, dia juga jagonya nge-lobby orang lho, bahkan orang yang belum dikenalnya sama sekali bisa dekat sama dia.

Kalau kakak yang keempat orangnya itu super cuek. Dia tuh kakak cewek satu-satunya. Dulu pas waktu kecil, kami berdua lebih sering berantemnya daripada akur. Ada berubah dengan kakakku setelah menikah, ia jadi pinter banget masak dan bikin kue. Pokoknya apapun yang dia bikin, pasti enak.

Memiliki empat orang kakak dengan empat karakter yang berbeda tentu saja sesuatu yang seru. Meskipun mereka berbeda sifat, tapi aku merasakan keempat-empatnya sangat menyayangiku. Ya, mereka sangat sabar menghadapi adik bungsu yang manja dan jutek ini. Bahkan perhatiannya sampai aku sudah menikah dan memiliki putra pun, masih saja aku rasakan.

Terkadang ada rasa rindu untuk mengulang waktu. Di saat kami semua masih kecil. Ada momen yang tak terlupakan. Momen kebersamaan meskipun berbalut ke-riweuh-an dan mungkin tangisan si anak bungsu. Saat-saat ketika kami sarapan bersama atau makan malam bersama pun masih saja terbayang jelas.


Ah, kenangan masa kecil memang selalu sulit dihapus. Sekarang, kami semua sudah berkeluarga. Kami melangkah masing-masing, tapi tetap ada saatnya langkah kami menyatu. Meskipun arah kami terkadang berbeda, namun kami yakin tujuan kami sama. Ada mimpi yang hendak kami jemput, ada cita-cita yang sedang kami raih. Saat ini, mungkin kami berlima tidak bisa bertemu setiap saat seperti dulu, tapi ada satu rasa yang tak bisa kami hilangkan, rasa persaudaraan dan pertalian darah. Semoga tak hanya di dunia kami saling menyapa, tapi pertemuan ini akan tetap terjaga di jannah-Nya kelak. 

Saturday, November 25, 2017

Say No To Be A Teacher

November 25, 2017 0 Comments


Inilah kisah pertamaku. Ya, saat inilah aku berada dalam situasi ANDI LAU (Antara Dilema dan Galau). Kisah ini terjadi tepat ketika aku duduk di kelas XI SMA.

Waktu itu kebetulan kakakku yang keempat tidak bisa ngajar seperti biasa di tempat les. Dia memintaku untuk menggantikannya sehari itu saja. Menurut kakakku katanya dia tidak memaksa. Tapi, kalau menurutku sangat memaksa karena dia bilangnya di depan Bapak.

Bapak sangat setuju ketika kakak perempuanku itu menyuruhku untuk belajar mengajar. Bapak langsung menasehatiku kalau aku harus belajar mengajar. Aku sudah mengeluarkan jurus manja tingkat dewa kepada Mamah. Tapi, sia-sia saja. Semua orang di rumah terus mengomporiku untuk mengajar.

Bahkan kakakku rela memberikan semua uang bayaran les kalau hari itu ada yang bayar (karena memang waktu itu awal bulan). Di satu sisi, siapa sih yang nggak tergiur dengan uang. Secara anak SMA diiming-imingi uang yang lebih dari uang ongkos yang biasanya dipegang.

Padahal aku sudah mengatakan kepada semua orang di rumah, kalau aku tidak sedikit pun bercita-cita untuk menjadi seorang guru. Karena pikirku, jadi guru itu sangat tidak menyenangkan. Coba deh perhatikan, kalau kita ketemu guru baik, pasti bakalan dikerjain. Kalau gurunya nggak baik, pasti diomongin. Nggak enak kan? Udah gitu mana ceritanya guru gajinya gede? Itulah yang dulu ada dalam benakku. Pokoknya dalam kamus kehidupanku tidak pernah terbersit untuk menjadi seorang guru.

Meskipun bapakku adalah seorang guru dan keempat kakakku juga guru, tapi ketika aku ditanya apa aku mau jadi guru juga? Pastilah jawabannya TIDAK. Begitu pun keempat kakakku, mereka tidak yakin kalau aku jadi guru. “Mana ada guru yang manja,” ujar kakakku.

Wajar sih mereka bilang kayak gitu. Karena memang aku ini anak bungsu dengan level manja paling tinggi. Sampai kelas X SMA, aku masih dijemput kakakku kalau pulang sekolah. Lucu ya? Sama sekali nggak, bahkan memalukan.

Selain itu, aku tuh anaknya pemalu banget plus penakut beuud J. Aku paling nggak bisa kalau disuruh berdiri dan menerangkan di depan kelas. Apalagi kalau harus berhadapan dengan guru yang super jutek. Wah, pokoknnya jangan harap kalau aku tuh bisa berkomunikasi dengan baik.

Tidak cukup sampai disitu. Aku tuh kalau ngomong, pelan banget. Terus aku paling tidak pandai bergaul. Temanku bisa dihitung dengan jari. Padahal aku terbilang anak paling pintar (bukan narsis lho). Aku memang selalu memperoleh ranking 3 besar sejak SD sampai SMA. Aku juga selalu menjuarai lomba menulis sejak SD. Tapi, kalau disuruh gaul dengan teman-teman, aku bisa diam seribu kata deh.

Karena setumpuk hal negatif yang bersarang di jiwaku itulah yang membuat aku tidak ingin menjadi guru. Aku lebih memilih untuk menjadi seorang sekretaris. Karena pikirku menjadi sekretaris itu hanya berhadapan dengan komputer dan tidak harus berhadapan dengan banyak orang.  Dan yang terpenting alasan yang paling membuatku ingin menjadi sekretaris adalah gaji. Pastilah gaji sekretaris itu lebih besar daripada seoarng guru, pikirku dulu. (Matre banget ya? Tapi itu dulu. Sekarang? Ehmm...sudah kembali ke jalan yang benar J.)

Dilema. Ya dilema tingkat tinggi ketika aku dihadapkan pada situasi harus memilih. Jujur, hari itu ialah hari yang tidak pernah aku lupakan. Badanku boleh jadi ada di kelas, tapi pikirku entah berada dimana.

Beribu pertanyaan muncul dibenakku. Apa nanti anak-anak akan senang belajar denganku? Apa aku bisa berbicara dengan keras? Apa aku bisa menerangkan dengan menyenangkan? Apa nanti ketika aku bicara bahasa Inggris, mereka bakalan mengerti?

Hufft...Aduh rasanya aku ingin sekali melewati hari ini. Aku sempat berpikir untuk berbohong saja. Aku mau pulang terlambat saja, nanti aku bilang kalau ada kerja kelompok. Jadi aku tidak akan mengajar. Tapi, tidak mudah bagiku. Kalau sampai ketahuan sama Bapak, bisa-bisa aku kena KULTUM (Kuliah Tiga Puluh Menit) setiap hari seumur hidup.

Memang semua sudah diatur oleh Allah SWT, hari itu ternyata aku pulang lebih awal. Biasanya aku senang kalau pulang lebih awal karena tidak akan terjebak macet. Tapi, kali ini aku mengharapkan akan ada macet panjang, sehingga aku bisa pulang terlambat.

Dan tahukah, keajaiban apa lagi yang terjadi denganku? Ternyata perjalanan dari sekolah ke rumahku yang biasanya ditempuh dalam waktu 2 jam, hari itu hanya 45 menit. Amazing. Aku hanya bisa tersenyum dengan perasaan tidak menentu.

Langkahku seperti tidak menapak di tanah. Jantungku tidak berdegup dengan sangat kencang. Andai stetoskop dipasang di dadaku, pastinya telinga yang mendengarkannya akan sakit (lebay.comJ).

Masih ada waktu satu jam sebelum pertempuran hidup dan matiku. “Neng pasti bisa.” Itulah kata-kata Mamah yang membuatku bisa sedikit tersenyum yakin. Tapi, tetap saja, aku tidak bisa menyembunyikan tingkat stressku.

13.15... Hufft...Itu artinya lima belas menit lagi aku akan berhadapan dengan beberapa anak SMP. Meskipun aku senang sekali dengan pelajaran Bahasa Inggris, tapi kalau harus mengajarkannya lagi, nggak tahu deh harus seperti apa.

Dzikir dan berdoa, itulah yang aku lakukan sambil berjalan menuju tempat les. Berusaha untuk tersenyum kepada murid-muridku (eh, murid kakakku J). Mulai dengan memberi contoh membacakan teks. Memberikan soal.

15.00... Wow, nggak kerasa, ternyata waktunya sudah habis. Ternyata aku bisa ya melalui hari ini. Tapi, apa mereka senang belajar denganku? Ah, bodo amat. Yang penting aku sudah melakukan tugas yang membuat berat badanku turun beberapa kilogram hehe...

Diluar dugaan, ternyata ada tiga orang yang bayar uang les waktu itu. Lumayan, dapat ‘gaji’ pertama. Karena sudah perjanjian, berarti semua uangnya buatku. Meskipun aku dapat rezeki tak terkira, tapi aku tetap tidak tergoda untuk memilih guru sebagai profesiku nanti ketika lulus sekolah.

“Tuh, kan nggak sampai pingsan,” goda kakakku.

Aku tidak mau mengomentarinya. Karena aku pikir aku sih tidak apa-apa. Tapi, bagaimana dengan pendapat murid-muridnya. Takutnya mereka jadi benci Bahasa Inggris, gara-gara gurunya kayak aku.

Neng, mau ngajar lagi?” tanya kakakku keesokan harinya.
“Nggak!” jawabku dengan pasti.
“Anak-anak pada nanyain. Katanya pengen belajar sama Neng.”

What!!! Apa aku nggak salah dengar? Mereka suka dengan cara ngajarku. Ah, pasti kakakku lagi bercanda. Mana ada guru kayak aku? Nggak. Pokoknya aku nggak boleh tergoda dengan rayuan maut kakakku.


Karena menurutku, masih banyak profesi yang menjanjikan. Masa semua orang di rumahku jadi guru? Apa nggak sekalian aja bikin PGRI Cabang Keluarga Daswan. Pokoknya Say No to Be A Teacher, dulu J.

Thursday, November 23, 2017

Can/Could/Would you...? (Request, invitations, Permission, and Offers)

November 23, 2017 0 Comments

Hi! Oh, it's to late to share today. There's something trouble with the connection. But, it's okay, as I promise I'll share English subject on Thursdays. Now, let's discuss about how to make request, invitations, and permission. 


Making Request
When making a request, “can” is a stronger modal to use –in fact is almost like giving an order “could” and “would” are almost interchangeable and are not as strong as in tone.

For example:
Ø  Can you help me wash the clothes, please.
Ø  Could you lend me your new movie?
Ø  Would you just try a little harder, please?


Making an invitation
When we make an invitation, “can” is stronger and “could” and “would” are not quite as strong.

For example:
Can you make it to my rehearsal tonight?
Would you like to come to my birthday party on Tuesday?
Could you come to the restaurant opening?


Permission
When we ask or permission or ourselves or others, “can” is again a stronger modal to use “could” is a little weaker and “would” is most commonly used along with a phrase like “would it be okay if...? or “would is be alright if...?”

For example:
Ø  Can I come inside, it is raining out here.
Ø  Could John come and visit over the weekend, he really misses you.
Ø  Would it be okay if I wear my shoes inside ? My feet realy smell.

Offer
When making an offer, it is most common to use “could” or “can” when using “I” as the subject of the question. We can use “would” when we want to make “you” the subject of the sentence.

For example:
Ø  Can I get you a drink?
Ø  Could I offer you a seat?

Ø  Would you like a tuna sandwich?

Wednesday, November 22, 2017

Kita Unik dan Berharga

November 22, 2017 0 Comments

Teman-teman kita main tebak-tebakan yuk! Tahu nggak ini gambar apa?




Tahu?
Ini gambar siapa?
Masih belum ketebak?
Ok, saya kasih yang lebih jelas.


Udah bisa ketebak?
Kenal?
Masih nggak kenal?

Ok, ok, good! Empat jempol buat kalian yang bisa mengenali siapa gambar di atas. Bagi yang belum tahu, aku harus bilang, open your eyes and read a lot J. Hari gini nggak cerdas? iyuuuhhh...

Nyantai...nyantai...nggak usah marah. Yang penting sekarang kamu udah punya keinginan untuk rajin baca, menambah ilmu. Dengan kamu pegang buku ini lalu membukanya halaman per halaman, itu artinya kamu tuh cerdas J. Pokoknya TOP BGT dah.

Ok, sekarang kita bahas gambar di atas. Gambar siapa ya?
Yapp... Itu lukisan Monalisa. Lukisan yang luar biasa, tak lekang dimakan waktu. Kalau kita perhatikan sebenarnya banyak yang bisa melukis sosok wanita. Tapi, kenapa lukisan ini begitu dikagumi banyak orang?

Karena pelukisnya merupakan pelukis yang luar biasa, Leonardo da Vinci. Ya, mungkin salah satunya memang itu alasannya. Tapi, ada yang lebih menarik untuk dibahas dari lukisan tersebut, yaitu harganya. Harga dari lukisan itu mencapai kurang lebih 14,3 trilyun rupiah. Lalu, apa yang membuat harga lukisan itu menjadi sefantastik itu?

Senyuman wanita yang ada di lukisan itu. Bisa jadi ya. Ada lagi yang lain? Unik, nggak ada duanya. Yap, lukisan itu menjadi luar biasa mahal, karena memang hanya ada satu lukisan asli Monalisa di dunia ini. Meskipun sekarang banyak orang yang meniru lukisan tersebut, tapi tetap saja harga lukisan aslinya masih yang paling tinggi.

Lalu, apa hubungannya dengan kita? Kenapa kita harus membahas lukisan Monalisa? Apa dengan membahas lukisan itu, kita bakalan kecipratan rejekinya?

Tentu saja bukan itu. Kita tidak ada sangkut pautnya dengan berapa pun harga lukisan tersebut. Tapi, tujuan saya memberikan gambaran tentang harga dari lukisan Monalisa hanya untuk menjadikan bahan pemikiran bagi kita semua.

Harga sebuah lukisan Monalisa itu bisa mencapai trilyunan rupiah. Hanya sebuah lukisan, kok bisa? Terus apa kita bisa berharga sama dengan lukisan itu? Atau mungkin lebih? Atau kurang?

Kalau kalian merasa lebih berharga dari lukisan tersebut, aku wajib berdiri dan mengucapkan selamat kepada kalian. Tapi, jika kalian merasa kurang dari harga lukisan tersebut, sepertinya kita harus duduk bersama mendiskusikan semua ini.

Oya, sebelum salah persepsi, saya ingin meluruskan dulu makna ‘harga’ disini. ‘Harga’ yang saya maksud bukan seperti harga sebuah barang. Tapi, bagaimana kita menjadi lebih berharga dan berguna.

Ok, bagi yang merasa dirinya tidak berharga, aku ingin mengungkap berbagai fakta. Sebenarnya semua orang juga sudah tahu. Tapi, biarkan saya untuk mengingatkan kembali.

Sebelumnya, saya ingin bertanya? Merasa nggak diri kita UNIK?
Tidak?
Ok, ok, sekarang saya ingin nanya, andaikan ada seseorang yang kaya raya mendatangi kamu. Terus dia minta mata kamu dan akan ditukar dengan 1 Milyar, mau nggak? Atau kalau mata terlalu berharga, dia meminta sebelah tangan kamu dan akan ditukar dengan harga yang sama, mau?

Tetap nih nggak mau. Apa sih yang membuat kamu menggelengkan kepala kamu dengan penawaran yang fantastik itu? Nggak mau badan kamu menjadi cacat? Atau mungkin harganya terlalu rendah.

Sahabat, sebenarnya mau ditukar dengan gunung berlian sekalipun, saya yakin hanya orang yang bodoh yang akan menukarkan tubuhnya dengan materi. Karena memang tubuh kita ini tidak bisa ditukar dengan apapun. Tidak ada harga yang pantas untuk tubuh kita.

So, bukankah kita semua sudah tahu, betapa kayaknya kita. Kita bahkan tidak tergoda dengan lembaran rupiah maupun dolar sekalipun yang ditawarkan. Kalau misalkan kita merasa tubuh ini tidak ada harganya, mungkin dengan mudah kita akan memberika tangan, kaki, mata dan juga bagian tubuh kita yang lain dan ditukar dengan rupiah.

Setiap manusia diciptakan Tuhan dengan banyak kelebihan dan dianugerahi pula beberapa keterbatasan. Sebagai contoh mudah adalah ada teman kita yang sangat cakap dalam hitung menghitung tapi tidak begitu mahir dalam seni sastra, sedangkan ada teman kita yang piawai dalam seni sastra tapi tidak cakap dalam dunia olah raga. Adanya kelebihan dan keterbatasan membuat setiap orang menjadi unik. 

Tidak ada orang yang sama di atas dunia ini meski itu orang kembar sekalipun.  Fakta menunjukan bahwa potensi dan kelebihan dalam diri tidak disadari oleh sebagian besar orang di atas dunia ini. Ketidaksadaran ini sangat berpengaruh pada kualitas hidup, karena tidak dapat mengoptimalkan manfaat dari kelebihan dalam dirinya.

Sikap terbaik adalah kita menggunakan kelebihan-kelebihan yang ada dalam diri untuk menciptakan beragam kebaikan. Serta tetap menyadari bahwa kita pun memiliki beberapa keterbatasan.  Keterbatasan itu kita manfaatkan untuk kontrol diri agar tidak takabur serta untuk memahami kondisi dirinya denganlebih utuh.  Keterbatasan itu jangan jadi penghambat untuk mencapai kemajuan, teruslah berfokus dan mengoptimalkan kekuatan maka sukses itu tentu lebih mudah diraihnya. 


Ingat, kita UNIK dan BERHARGA. Meskipun kita terlahir sebagai anak kembar, tapi tetap saja, kita TIDAK SAMA. Kita terlahir dengan sejuta KELEBIHAN.

Thursday, November 16, 2017

COMPARATIVE AND SUPERLATIVE ADJECTIVES

November 16, 2017 0 Comments


Hi! Hi! Today, I will share about comparative and superlative adjectives. Let's begin to discuss it, guys.


v  After comparatives, we use than:
Examples:
-          I am taller than you.
-          It’s cheaper to go by car than to go by train.


v  We use –er for the comparatives of short adjectives and adverbs:
Examples:
1.      Cheap àcheaper
2.      Hard àharder
3.      Large àlarger
4.      Thin àthinner



v  We prefer –er with some two syllable adjectives, especially adjectives ending in –y.
Examples:
1.      Lucky àluckier
2.      Funny àfunnier
3.      Easy àeasier
4.      Pretty àprettier



v  We use more…for other two syllable adjective and longer adjectives.
Examples:
1.      More modern
2.      More serious
3.      More expensive
4.      More comfortable


v  We also use more…for adverbs which end in –ly.
Examples:
1.      More slowly
2.      More seriously
3.      More quietly
4.      More carefully
Note: We say earlier (not ‘more early’)


v   Before the comparative of adjectives and adverbs, we can use:
1.      A bit
2.      A little
3.      Much
4.      A lot
5.      Far (=a lot)


v  Some adjectives and adverbs have irregular comparative forms.
Examples:
1.      Good/Well      à Better
2.      Bad/Badly       à Worse
3.      Far                   à Further (or farther)
                                    Further can also mean more or additional.
4.      Old                  àOlder/Elder
    We use elder when we are talking about members of a family. 
    We say (my) elder brother/sister/son/daughter.
    We use elder only before a noun.


v  We can use two comparatives together to say that something is changing continuously.
Examples:
1.      Harder and harder.
2.      More and more
3.      More and more difficult


v  We use as…..as/not so….as to say something is same.
Examples:
1.      As old as
2.      As well as


v  We can also use as….as…(but not ‘so….as’) in positive and in questions.


v  We say the same as (not ‘the same like’)


v  We use –est or most….to form the superlative of adjectives and adverbs.


v  -est for shorter words and most….for longer words.
Examples:
1.   Long àlongest
2.   Hot àhottest
3.   Easy àeasiest
4.   Hard àhardest
5.      Most famous
6.      Most boring
7.      Most difficult
8.      Most expensive


v  Some adjectives and adverbs have irregular superlatives forms
Examples:
1.      Old àOldest/Eldest
We use eldest when we are talking about the members of a family.
2.      Good àBest
3.      Bad àWorst


v  After superlative, we use in with places (town, building, etc).


v  We also use (the best…) in the class/in the team/in the company, etc.



v  Wes sometimes use most + adjective (without ‘the’) to mean very.