Follow Us @soratemplates

Tuesday, August 11, 2020

Pertanian Di Tangan Generasi Y, Z dan Alpha

August 11, 2020 26 Comments

Dok. pribadi
 


Menurut data Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) yang dirilis BPS 2018, jumlah petani hanya tinggal 4 juta orang dari jumlah penduduk Indonesia sebanyak 264 juta orang. Jumlah yang sangat sedikit bila dibandingkan dengan jumlah penduduk keseluruhan.

Tapi, memang kita pun dapat melihat fenomena yang terjadi saat ini. Para generasi milenial lebih memilih profesi lain daripada harus melanjutkan menggarap sawah orang tuanya. Menjadi petani tidak ada dalam list pekerjaan impian mereka.

Padahal kondisi seperti ini akan berpengaruh kepada produksi pangan. Mau tidak mau, jumlah penduduk yang banyak tentu akan mengakibatkan permintaan atau kebutuhan pangan meningkat. Tapi, hal tersebut tidak sebanding dengan produksi. Jadi, akibatnya akan berpengaruh kepada harga dari komoditas pangan tersebut.

Tidak hanya dari sisi sumber daya manusianya saja, tapi luas lahan pun berpengaruh. Tahun 2019, Indonesia memiliki luas Lahan Baku Sawah (LBS) 7.463.948 hektare. Pulau Jawa mendominasi jumlah luas ini. Provinsi Jawa Timur menduduki urutan pertama yang memiliki luas Lahan Baku Sawah (LBS) tertinggi, yaitu 1,2 juta hectare.

Data tersebut berdasarkan pendataan yang dilakukan Badan Pusat Statistik (BPS), Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), Kementerian Agraria dan Tata Ruang, Badan Informasi Geospasial (BIG) serta Lembaga Penerbangan dan Antariksa (LAPAN).

Luas tersebut jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya, mengalami kenaikan. Namun, jika dibandingkan dengan luas Lahan Baku Sawah (LBS) pada 2013, maka mengalami penyusutan sekitar 287.000 hektare.

Salah satu penyebab menyusutnya luas Lahan Baku Sawah (LBS) dikarenakan alih fungsi lahan. Lahan pertanian sudah banyak yang berubah menjadi properti, infrastruktur, atau juga pabrik yang cukup masif. Intinya terjadi ketidakselarasan antara pembangunan dengan pelestarian lahan pertanian. Di satu sisi, ingin meningkatkan pembangunan infrastruktur, tapi di sisi lain melupakan keberadaan lahan pertanian yang juga memberikan kontribusi pada perekonomian negera.

Padahal kita patut bersyukur karena di saat pandemi ini, pertanian masih menjadi salah satu sektor yang mendominasi struktur PDB menurut lapangan usaha. Struktur sektor pertanian ada di urutan ketiga sebesar 12,84%  setelah sector industri pengolahan (19,98%) serta perdagangan besar dan eceran (13,30%).

Menurut data dari Badan Pusat Statistik (BPS), ekspor pertanian tetap menunjukkan kinerja yang baik pada April 2020 dengan nilai US$ 28 miliar. Itu artinya, terjadi kenaikan sebesar 12,66 persen dibandingkan dengan periode yang sama pada tahun 2019.

Dengan kondisi seperti ini, setidaknya kita masih memiliki harapan agar sektor pertanian ini bisa tetap memberikan andil dalam perekonomian Negara. Bagaimanapun juga, Indonesia sebagai Negara agraris, tidak bisa dan bahkan jangan sampai kehilangan sektor pertanian ini.

Berkaca dari masa pandemi ini, lapangan pekerjaan yang tetap ada dan tidak terganggu adalah sektor pertanian. Tidak ada petani yang tidak turun ke sawah karena wabah covid-19 ini. Apalagi di bulan Maret dan April tahun ini, Indonesia mengalami panen raya.

Selain sebagai penyedia lapangan kerja, ada beberapa alasan mempertahankan dan meningkatkan kualitas sektor pertanian, diantaranya: meningkatkan devisa negara, perolehan nilai tambah dan daya saing, pemenuhan kebutuhan konsumsi dalam negeri, sebagai bahan baku industry dalam negeri dan optimalisasi pengelolaan sumber daya alam secara berkelanjutan.

Tapi, pertanyaannya, apa bisa sektor pertanian bertahan di masa depan? Bukankah generasi saat ini saja sudah berkurang atau bahkan tidak memiliki ketertarikan untuk turun ke sawah?

 

Karakteristik Generasi Y, Z dan Alpha

Generasi Y atau disebut juga Generasi Milenial ialah generasi yang lahir pada tahun 1981-1994. Generasi ini lahir di era perkembangan teknologi yang pesat. Generasi ini sudah mengenal handphone sebagai alat komunikasi.

Dikutip dari Forbes, generasi ini memiliki passion yang besar dan sangat kreatif menjadikan passion mereka sebagai sumber penghasilan. Karena generasi ini lahir di era perkembangan teknologi, maka mereka bisa mendapatkan informasi yang jauh lebih cepat. Mereka tumbuh menjadi generasi yang lebih inovatif dan memunculkan ide visioner terkait perkembangan teknologi dan sains.

Generasi Z ialah generasi yang lahir pada tahun 1995-2010. Mereka lahir pada saat transisi perkembangan teknologi. Mereka sudah mengenal inovasi teknologi seperti smartphone dan social media.

Saat ini mereka memasuki usia dewasa muda. Generasi ini jauh lebih terbuka terhadap perubahan dan juga inovatif dalam mengembangan hal baru. Generasi inipun tumbuh lebih individualis.

Generasi Alpha ialah generasi yang lahir pada tahun 2010 ke bawah. Ini adalah generasi termuda. Mereka sudah mengenal teknologi dari sejak lahir. Mereka pun sudah sangat familiar dengan smartphone dan interner. Generasi ini sangat terpengaruh dengan teknologi.

 

Inovasi Sektor Pertanian

Saat ini dan beberapa tahun ke depan, pembangunan dan roda perekonomian Indonesia berada di tangan ketiga generasi ini. Sebenarnya Pemerintah sudah menyadari kondisi ini. Jangankan Generasi Z dan Generasi Alpha, Generasi Milenial pun sudah banyak yang tidak tertarik dengan sektor pertanian.

Tentu saja, keadaan seperti ini tidak bisa dielakkan. Kita tidak bisa memaksa para generasi digital untuk turun ke sawah. Tapi, kita bisa mencari cara cerdas agar mereka mau mengenal dan bersentuhan dengan sektor pertanian.

Sebagai generasi yang lahir dan dibesarkan di dunia digital, mereka pastinya akan sangat familiar dengan yang berbau teknologi. Oleh karena itu modernisasi dan digitalisasi pertanian merupakan jawabannya.

Tak bisa dipungkiri, untuk tetap bertahan di era revolusi industri 4.0, pemanfaatan teknologi dan digitalisasi menjadi hal yang sangat penting. Pergeseran tenaga manusia menjadi tenaga mesin serta terintegrasi internet sudah menjadi sebuah keharusan saat ini.

Karena itu, tidak salah untuk saat ini dan di masa depan, kita sudah harus menerapkan konsep pertanian presisi (precision agriculture). Pertanian presisi ialah bertani dengan input dan teknik yang tepat sehingga tidak terjadi pemoborosan sumber daya.

Pertanian presisi merupakan konsep manajemen pertanian berdasarkan pengamatan, pengukuran dan repons terhadap variabilitas dalam dan antar bidang pada tanaman. Dengan cara ini, produktivitas dan kualitas produk bisa lebih optimal.

Tidak hanya itu, dalam pertanian presisi, pemanfaatan teknologi dapat meminimalisir dampak negative lingkungan dan juga risiko pertanian. Artinya, pertanian presisi jauh lebih bisa diaplikasikan di era sekarang dan masa depan.

Kita pun patut bersyukur, karena inovasi pertanian presisi ini sudah mulai dilakukan oleh para pelaku start up dan beberapa perusahaan. Tentu saja, perusahaan  yang mengembangkan pertanian dengan memanfaatkan teknologi big data analytic yang berbasiskan analisis cuaca, informasi sensor tanah, serta pencitraan satelit dan drone yang dapat meningkatkan produktivitas pertanian.

Tidak hanya berinovasi pada proses produksinya saja, sektor pertanian saat ini dan di masa depan juga harus memiliki manajemen yang baik dalam hal distribusi atau pemasaran. Kembali lagi, pemanfaatan teknologi harus menjadi poin penting. Bahkan dengan digitalisasi, akan jauh lebih cepat, tepat dan efisien.