365 Hari di Bumi Pendhalungan
ruangmaknaqu
November 07, 2016
0 Comments
Ketika pikir dibawa
kembali ke tahun lalu. Saat pelukan dan tangisan menyatu mengiringi kepergian
kami bertiga. Kami pikir kejadian perpisahan di stasiun hanya ada dalam film
atau sinetron saja. Ternyata, kami merasakan momen tersebut, dimana kata sudah
tak sanggup terucap lagi, hanya air mata yang sanggup menyampai makna.
Tak pernah aku bayangkan
bisa hidup berjauhan dari orangtua dan keluarga besar. Tak terasa pula, sudah
satu tahun aku tinggal di kota yang mendapat julukan Kota Tembakau, Jember. Saat
ini, potongan puzzle cerita hidupku
sedang berlatar di sini.
Aku tak pernah mengelak,
jika seringkali ada rasa rindu yang menyapa. Bumi Pasundan bagiku tak hanya
sekedar tempat kelahiran, namun ada cerita panjang menjemput impian sebagai
pecinta kata dan bahasa. Tidak hanya itu, di Tanah Parahyangan, ada janji yang
melangit terucap dan menjadi awal dari langkahku kini.
Tapi, di Bumi
Pendhalungan ini, langkahku tak berarti terhenti. Ada dua sosok penguat yang
terus menemani langkah ini. Ada seorang imam yang terus membimbing dan
mendampingiku. Dan, tentu saja si kecil Azka, bagiku adalah penyemangat dan
sekaligus sahabat.
Saat ini, biarlah aku
bungkus rindu yang mendera dengan balutan doa tanpa jeda. Meski raga belum
mampu bersua dengan kedua orangtua, tapi aku tak pernah lelah mendekap mereka
dalam doa. Karena aku yakin, doa tak pernah mengenal jarak.
Dan, satu hal yang
selalu kami tanamkan dalam alam bawah sadar, kisah kehidupan kami tak akan
pernah selalu berlatar di sini. Kami masih memiliki banyak impian untuk menyapa
dunia. Kami masih akan terus melangkah bersama menjemput impian-impian itu. Insya
Allah...