Belajarlah dari Kupu-Kupu dan Rajawali
ruangmaknaqu
July 23, 2013
2 Comments
Tak
terasa, sudah hampir setengah bulan, kita menjalani bulan suci ini. Nuansa religi begitu dekat
dengan setiap insan. Setiap orang berucap asmaNya. Setiap perilaku lurus di
jalanNya. Seakan sulit untuk menemukan
noda di bulan yang suci ini.
Diri
kita enggan untuk beranjak jauh dari atmosphere kedamaian ini. Jangankan
merelakannya pergi dari kehidupan kita, melupakan dalam imajinasi pun kadang
tak sanggup.
Memang
selayaknya, setiap muslim merasa bahagia dengan menjalani bulan penuh ampunan,
keberkahan dan juga kemuliaan ini. Namun timbul pertanyaan, apa yang kita
dapatkan setelah bulan penuh berkah itu pergi meninggalkan kita? Masihkah kita
menjadi pribadi yang dekat dengan Sang Pencipta?
Pertanyaan
dan keheranan itu muncul dalam benak kita, ketika kita menyaksikan ataupun kita
sendiri yang merasakan seperti tidak ada perubahan yang positif setelah kita menjalankan
ibadah shaum. Semua amalan yang kita kerjakan dibulan suci ini tidak berbekas dan
tidak menjadikan kita berubah menjadi lebih baik.
Padahal
Islam telah mengajarkan:
"Siapa yang pada hari ini
amalnya lebih baik dari kemarin maka tergolong orang beruntung, siapa yang
amalnya sama saja dengan kemarin, tergolong orang yang merugi dan apabila
amalnya lebih rendah dari kemarin maka ia tergolong orang yang celaka".
Kita
tinggal memilih, mau menjadi orang yang seperti apa kita ini? Apa kita akan
tetap bertahan menjadi orang merugi? Mungkin ketika ditanya seperti itu, pasti
semua orang ingin menjadi orang yang beruntung. Tapi, kenyataannya jauh
panggang dari api. Kita hanya sekedar ingin, namun tidak mau berjuang untuk
mendapatkannya.
Kita
harus malu pada kupu-kupu dan juga burung rajawali. Kenapa?
Ya,
karena sebenarnya makhluk Allah yang kita anggap kecil dan tak berarti ini, memberikan
banyak pelajaran bagi kita.
Belajarlah
dari kupu-kupu. Ia dulu hanya seekor ulat yang menjijikan. Bisa dipastikan
semua orang enggan untuk menyentuhnya. Jangankan untuk mengelus, mendekatinya
pun harus berpikir seribu kali. Ia marah? Kecewa? Atau ia akan mendemo kita
karena tidak memperhatikannya?
Tidak.
Ia bukan tipe makhluk Allah yang hidup dibawah garis. Ketika makhluk lain
menjauh darinya, ia berpikir dan introspeksi diri. Ia rela untuk berpuasa
beberapa hari menahan lapar, untuk menjadi lebih indah dan dapat terbang. Ia
harus mengalami sebuah perubahan (transformasi) yang disebut juga proses
metamorfosis.
Lain
lagi dengan seekor burung rajawali. Sang burung harus berpuasa selama seratus
lima puluh hari. Kemudian dengan penderitaan dan perjuangan yang sangat keras,
paruh dan cakarnya mengelupas lepas. Secara perlahan tumbuh paruh baru, tumbuh
cakar baru dan tumbuh bulu-bulu indah yang baru. Sang Rajawali mendapatkan
kekuatan primanya kembali.
Mengapa
Tuhan mengatur
sebuah proses revitalisasi dengan manahan diri, dan
proses yang sangat unik serta
menarik, sangat patriotik dan membutuhkan motivasi
dalam diri yang luar biasa.
Seekor
ular akan menjadi ular lusuh dan lemah, seekor ulat akan tetap menjadi ulat
yang menjijikan dan seekor rajawali akan mati. Ya, semua itu akan terjadi, bila
mereka tidak mau melakukan ritual yang suci. Ritual untuk mendapatkan kekuatan
diri.
Itulah
sebenarnya mengapa kita pun diperintah untuk berpuasa. Menahan diri merupakan
kunci dari segala kesuksesan dan kemegahan. Bukan hanya sekedar menahan lapar
dan dahaga.
Namun
yang terpenting ialah menahan diri untuk tidak sombong, menahan diri untuk
tidak malas, menahan diri untuk tidak rakus, menahan diri untuk tidak
menyakiti, menahan diri untuk tidak marah, menahan diri untuk tidak memaki,
menahan diri untuk tidak menyudutkan, dan menahan diri untuk tidak merasa
berkuasa.
Bulan
Ramadhan merupakan bulan pembelajaran bagi kita semua. Sudah bukan saatnya lagi
kita hanya berpuasa makan dan minum saja. Kita pun harus mempuasakan hati,
fikiran, ucapan dan perilaku kita dari hal-hal yang tidak diridhoin oleh Allah
SWT.
Memang
tidak mudah, tapi juga tidak sulit jika kita memiliki keinginan untuk melakukannya.
Kita tidak dituntut untuk sesuatu yang instan. Karena yang Allah nilai itu ialah
niat dan prosesnya.
Hidup
ialah perjuangan. Begitupun ketika kita menginginkan menjadi Ahli Surga, kita
pun butuh usaha. Jangan sampai kita menginginkan menjadi makhluk terbaik, tapi
kita tidak mau melaksanakan perintahNya.
Belajarlah
dari kupu-kupu dan burung rajawali. Kita hidup bukan hanya untuk sekedar
mengejar kesenangan duniawi saja. Jika kita hidup hanya untuk makan, apa bedanya
kita dengan hewan? Jika kita yang hidup hanya untuk berketurunan, apa bedanya antara
kita dengan kucing? Paling tidak kucing akan lebih banyak keturunannya daripada
kita?
Allah
SWT berfirman:
“Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan agar
mereka beribadah kepada-Ku”. (Q.S. Adz-Dzaariyat: 56)
Kita
diciptakan di dunia ini untuk lebih mengetahui dan mencintai Allah SWT. Mata
dan hati kita ialah jendela untuk meyakini kebenaran ayat-ayat Allah SWT. Kita
selayaknya menjadi makhluk pembelajar.
Dan
di bulan Ramadhan ini, saatnyalah kita banyak belajar dari keagungan ciptaanNya.
Berusalah untuk menjadi makhluk yang terbaik di sisiNya.
Niat,
ucap dan perilaku kita hanyalah untuk menggapai ridhoNya. Mari kita jadikan momentum
Ramadhan, menjadi tolak ukur untuk menggapai kesuksesan dunia dan akhirat.
Setiap
nafas yang terhembus, setiap darah yang mengalir, setiap detak jantung ini, semuanya
sebagai jalan untuk meraih cinta dari Sang Khaliq. Jika ulat dan rajawali saja,
setelah berpuasa berhari-hari, ia mampu berubah menjadi lebih baik. Maka,
apakah kita tidak malu, jika setelah berpuasa sebulan penuh, kita tidak berubah
menjadi lebih baik?
#iloveramadhan