Kebutuhan Pokok vs Kebutuhan Rokok
“Lebih
baik tidak makan daripada tidak merokok.”
Pernahkah kita mendengar pernyataan di atas?
Rasanya statement itu memang sangat familiar di telinga kita.
Pembenaran. Ya, rasanya itu hanya sebuah pembenaran
dari para perokok. Mereka merasa kebutuhan rokok itu menjadi sesuatu yang
sangat penting, bahkan bisa mengalahkan kebutuhan pokok.
Bahkan akhir-akhir ini, muncul statement
yang menyatakan kalau rokok bisa menghindari virus corona. Nah, kalau ini
jelas-jelas salah. Karena yang sebenarnya ialah perokok jauh lebih berbahaya
ketika ia terkena virus corona. Penyakit yang diakibatkan dari rokok bisa
menambah parah virus corona tersebut.
Kembali lagi, banyak sekali pembenaran dan
seribu alasan dari para perokok. Memang tidak mudah bagi perokok untuk sadar
kalau apa yang dilakukannya itu sangat berbahaya, tidak hanya bagi dirinya tapi
juga bagi orang-orang di sekitarnya.
Sebagai orang Indonesia, kita patut bersedih
sekaligus berpikir dengan kondisi di negara kita. Berdasarkan laporan Southeast
Asia Tobacco Control Alliance (SEATCA) yang dirilis pada 2019, yang berjudul The
Tobacco Control Atlas Asean Region, Indonesia merupakan negara dengan jumlah
perokok terbanyak di ASEAN, yakni 65,19 juta orang.
Setali tiga uang, menurut data yang dirilis Badan
Pusat Statistik (BPS) dalam kurun waktu setahun terakhir, pengeluaran
non-konsumsi per kapita dalam sebulan sebesar lebih dari 50 persen. Dari data
tersebut, jumlah uang yang dikeluarkan untuk rokok nilainya cukup besar. Dalam
sebulan angkanya mencapai lebih dari 6 persen secara rata-rata nasional. Pengeluaran
uang untuk membeli rokok lebih besar dibanding uang yang dipakai untuk membeli
beras yakni sekitar 15 persen sebulan.
Badan Pusat Statistik (BPS) juga mencatat bahwa
pengeluaran rokok, khususnya rokok kretek filter, menjadi komoditas penyumbang terbesar
kedua pada kemiskinan setelah makanan. Dalam catatan BPS angka kontribusi rokok
sebesar 11-an persen di perkotaan dan 10-an persen di pedesaan. Tidak hanya
itu, masa pandemi ini, Komnas Pengendalian Tembakau merinci terjadi peningkatan
jumlah perokok sekitar 13 persen.
Tapi, coba perhatikan, berdasarkan data
Badan Pusat Statistik per Juni dari 87.379 responden, sebanyak 70,53% kelompok pekerja
di sector informal yang mengalami penurunan pendapatan terbesar. Pekerja sektor
informal ini memiliki pendapatan 1,8 juta.
Bisa kita bayangkan sebelum pandemi, mereka
mendapatkan gaji sebesar 1,8 juta perbulan. Dengan jumlah tersebut, tentu saja bisa
dikatakan tidak besar atau bahkan masih dikatakan kekurangan. Lalu, setelah
pandemi pendapatan mereka mengalami penurunan. Namun, kebiasaan merokok masih
belum bisa ditinggalkan.
Kita coba hitung secara kasar, harga rokok
saat ini sekitar Rp. 11.500,00 – Rp. 30.000,00. Kalau seorang kepala rumah
tangga yang merokok menghabiskan 1 bungkus rokok per hari, berapa ia harus
mengeluarkan uang selama sebulan?
Lalu, bandingkan dengan harga beras premium
saat ini sekitar Rp. 10.000,00 dan harga telur sekilo sekitar Rp. 20.000,00. Apakah
pengeluaran untuk beras jauh lebih tinggi atau sebaliknya? Apakah harga untuk
kebutuhan protein masih lebih mahal daripada asap mematikan yang dihisap?
Terkadang memang sulit untuk memahami pola
pikir ahli hisap ini. Sudah jelas-jelas banyak efek negative, namun masih saja
dilakukan. Sebenarnya apa yang didapat dengan merokok? Ketenangan sesaat? Bisa diterima
oleh komunitas sesama perokok?
Kalau dipikir dengan pikiran yang jernih,
memang sangat sulit untuk mencari manfaat merokok. Tapi, memang lingkungan
sangat berpengaruh untuk membentu kebiasaan merokok ini. Biasanya karena melihat
orang tuanya yang merokok, atau berteman dengan para perokok.
Ketika seseorang sudah terbiasa merokok,
sangat tidak mudah untuk menghentikannya. Kandungan nikotin yang terdapat pada
rokok membuat perokok kecanduan dan sulit menghentikan kebiasaan merokoknya.
Bahkan menurut Nurul Nadia Luntungan, peniliti
CISDI (Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives) pada Ruang
Publik KBR dalam talkshow bertema “Pandemi: Kebutuhan Pokok vs Kebutuhan Rokok",
adiksi nikotin pada rokok itu terbesar di dunia, mengalahkan adiksi dari
narkotika.
Masih menurut Nurul, perokok yang ingin
berhenti setidaknya membutuhkan waktu 6 bulan. Namun, hal ini pun harus diikuti
oleh keinginan yang kuat dan lingkungan yang mendukung. Para perokok yang ingin
menghentikan kebiasaannya harus benar-benar menjauh dari komunitas perokok.
Karena biasanya pengaruh teman dan lingkungan jauh lebih kuat.
Dikatakan oleh Nurul, perokok yang ingin
berhenti tapi masih berkumpul dengan orang-orang yang suka merokok kalau
dianalogikan seperti orang yang ingin diet di saat hari raya. Tentu saja akan
banyak godaan untuk bisa menghindarinya.
Lingkungan itu memang sangat berpengaruh. Maka
patut diacungi jempol ketika ada daerah yang berani untuk menjadikan kampung
bebas asap rokok dan covid-19, seperti di daerah Cililitan, Jakarta Timur.
Seperti yang dijelaskan oleh M. Nur Kasim, Ketua
RT 01/RW 03 Kampung Bebas Asap Rokok dan Covid-19 Ciliitan pada talkshow yang
sama di Ruang Publik KBR, daerahnya mulai menerapkan aturan bagi para perokok
sejak 18 Juli 2020. Terdapat beberapa aturan, salah satunya ialah larangan merokok di dalam rumah.
Dengan adanya aturan seperti ini, sangat
bisa memberikan efek positif. Karena para perokok menjadi terbatas ruang
geraknya. Setidaknya dengan adanya larangan merokok di dalam rumah, artinya
mereka harus mencari tempat lain, dan tentu saja itu bisa mengurangi jumlah
rokok yang dikonsumsi. Bahkan ketika dalam satu lingkungan sudah sangat jarang
yang merokok, maka mau tidak mau kebiasaan merokok akan berkurang.
Budaya. Sebenarnya masalah budaya ini yang
harus kita perhatikan juga. Di beberapa daerah, pada setiap acara kenduri,
pribumi (yang punya hajat) harus menyediakan rokok dan membagikan kepada para
tamu. Kebiasaan seperti ini sudah berlangsung sejak lama. Jadi, secara tidak
langsung, para generasi muda akan berpikir, merokok itu sesuatu yang biasa dan
bukan menajdi sebuah hal jelek.
Selain masalah budaya, harga rokok di
Indonesia pun masih sangat murah. Meskipun per awal tahun 2020 ini ada kenaikan
harga, namun tetap saja masih bisa terjangkau. Di Australia harga rokok
perbungkus sekitar Rp 271.000,00. Di Selandia Baru rokok dihargai sebesar Rp.
240.000,00. Sedangkan di Inggris, harga rokok sekitar Rp. 183.000,00. Sekarang bandingkan
dengan di Indonesia?
Harga sebungkus rokok masih lebih murah dari
harga makanan siap saji. Bahkan anak-anak di bawah umur pun bisa membelinya
dari uang jajan yang dia dapat dari orang tuanya.
Tidak hanya itu, penjualan rokok pun masih
bisa didapatkan dengan mudah. Di Indonesia, kita bisa mendapatkan rokok hampir
di setiap kita melangkah. Warung kecil, fasilitas umum, bahkan di area
perkantoran atau sekolah, rokok bisa ditemui.
Sudah seharusnya semua pihak mulai peduli
dengan masalah rokok ini. Kita tentu tidak ingin generasi muda hancur karena
rokok ini. Saatnya kita menyadarkan para ahli hisap untuk menghentikan
kebiasaan merokoknya. Tentu saja harus ada peraturan yang tegas dari para
pemegang kebijakan, dan menaikkan cukai rokok saja tidak cukup untuk membuat perokok
jera dan meninggalkan kebiasaan jeleknya tersebut.
“Saya
sudah berbagi pengalaman pribadi untuk #putusinaja hubungan dengan rokok atau
dorongan kepada pemerintah untuk #putusinaja kebijakan pengendalian tembakau
yang ketat. Anda juga bisa berbagai dengan mengikuti lomba blog serial
#putusinaja yang diselenggarakan KBR (Kantor Berita Radio) dan Indonesia Social
Blogpreneur (ISB). Syaratnya bisa Anda lihat di sini.