Satu bulan
sudah Mamah pergi meninggalkan kami untuk selama-lamanya. Tulisan ini bukan
untuk mencipta sedih yang tak berkesudahan. Untaian kata ini bukan berarti karena
aku tidak ikhlas dengan semua yang sudah ditakdirkan oleh Allah Swt. Deretan kalimat
ini aku tulis sebagai pengingat diri ketika iman ini mulai menurun.
Aku sadar
kepergiaan Mamah yang tiba-tiba, masih membuatku tak percaya. Terkadang aku pun
berharap ini semua hanyalah mimpi. Namun, harus aku sadari bahwa semua ini
adalah nyata dan sudah digariskan oleh Allah Yang Maha Kuasa.
Siapa yang
tidak bahagia mendengar kabar akan kehadiran orang yang paling berjasa dalam
hidup? Siapa yang tidak bahagia ketika orang yang pernah ditinggali rahimnya
berniat tinggal bersama kita? Siapa yang tidak bahagia akan bertemu seseorang
yang sudah hampir satu tahun tak besua?
Namun, siapa
yang tidak bersedih ketika semua bahagia itu sirna?
Siapa yang
tidak sedih ketika dalam hitungan menit, harapan untuk memeluk dan dipeluk
Mamah hanya sekadar mimpi?
Siapa yang
tidak bersedih ketika hadirnya Mamah di rumah dalam keadaan sudah tak bernyawa?
Siapa yang
tidak bersedih dengan kepergiaan Mamah yang hanya berselang 1,5 bulan dengan
Bapak?
Padahal sebelum
berangkat dari Bandung, aku beberapa kali memastikan kondisi kesehatan Mamah. Dalam
perjalanan pun aku dikabari kalau Mamah sehat dan terlihat menikmati
perjalanan, bahkan aku sempat video call-an dengan Mamah dan terlihat senang. Beberapa
menit sebelum Mamah akan turun dari kereta api, kondisi beliau masih baik-baik
saja. Beberapa saat sebelum kereta api berhenti, aku pun masih mengirim pesan lewat
whatsapp menanyakan kabar.
Allah Akbar…
Skenario ini memang hak prerogative Allah. Padahal kami berniat membahagiakan
Mamah, tapi Allah lebih berhak membuat Mamah jauh lebih bahagia di sana. Kami rindu
Mamah, namun Allah jauh lebih rindu dengan Mamah.
Sampai saat
ini, rindu itu masih teriris sempurna dalam hati dan pikir. Tangis ini masih
saja memaksa untuk menyapa. Imajiku masih saja membayangkan Mamah berada di
dekatku. Tapi, kembali lagi, semua ini bukan karena aku tak ikhlash. Tapi,
karena ada rindu yang belum terobati, ada cinta yang tak bisa terganti.
Sebagai anak
bungsu, tentu saja aku begitu dekat dengan Mamah. Tidak hanya itu, banyak orang
mengatakan, kalau wajah dan sifatku sangat mirip dengan Mamah. Ah, sebenarnya
kalau sifat, aku masih jauh dikatakan mirip dengan Mamah. Mamah itu orangnya
tulus, tidak pernah banyak menuntut, selalu mengalah, tidak suka konflik,
selalu menyembunyikan kesedihan, patuh kepada suami, tegar menghadapi ujian
kehidupan, dan masih banyak sifat baik Mamah yang belum bisa aku tiru.
Ya, aku belajar
tentang hidup dan kehidupan dari Mamah. Aku belajar bagaiman menjadi seorang
istri yang baik. Aku belajar menjadi seorang ibu yang hebat. Aku belajar
kesederhanaan. Aku belajar mencintai itu tidak sesederhana mengucapkan. Aku
belajar tentang ketulusan dan keikhlasan tanpa jeda dari Mamah.
Aku bersyukur
bisa terlahir dari rahimnya. Aku bahagia bisa menjadi bagian alur cerita hidup
Mamah. Aku berterima kasih karena dibesarkan dengan ketulusan dan cinta
darinya.
Saat ini, aku
hanya bisa berdoa untuk kebahagiaan Mamah dan Bapak di sana. Semoga Allah
Swt mengampuni dosa-dosanya, menerima amal ibadahnya, diterangkan kuburnya,
dilapangkan kuburnya, diberikan nikmat kubur dan nikmat surga-Nya. Semoga kami
bisa bertemu dan berkumpul kembali di surga-Nya. Aamiin…
Miss her😫😢
ReplyDelete