Follow Us @soratemplates

Thursday, April 14, 2022

Merasa Sumuk di Kota Seribu Gumuk

 


team up for impact


“Puuaanaaasss banget ya, Neng,” ujar Pak Suami sambil mengganti baju koko dengan kaos tipis.

“Aduh, lebay banget. Bilangnya kan cukup panas banget ya,” ledekku sambil tertawa.

 

Percakapan di atas akhir-akhir ini seringkali terlontar diantara aku dan suami. Pertama kali menginjakkan kaki di Kota Seribu Gumuk  di tahun 2015 silam, sejujurnya aku sendiri sudah merasakan cuaca yang tidak bersahabat dengan kulit. Maklum aku lahir dan besar di Bumi Pasundan. Jadi ketika menyapa Bumi Pendhalungan, kulit lumayan kaget dengan perbedaan cuaca yang cukup ekstrim.

 

Saat itu saja, aku bisa mandi sehari 5 atau 6 kali. Pokoknya setiap kali mau shalat, pasti aku harus mandi. Bukan karena mengikuti sunnah, tapi lebih tepatnya badan yang nggak nyaman karena sumuk (gerah/kepanasan).

 

Itu dulu, sekarang?

Hmmm… Lebih puuaanaasss lagi. (logat sudah menyesuaikan, maklum sudah hampir sewindu hehehe…)

 

Ya, saat ini, meski kulit ini sudah bisa menyesuaikan, tapi dampak dari perubahan iklim sudah sangat terasa.  


Saking panasnya cuaca, saya bahkan setiap kali habis keluar rumah, pasti akan menuju kamar mandi dulu. Apalagi setelah menjemput anak dari sekolah, bisa kebayang kan berpanas-panasan naik sepeda motor jam 11 siang? Kulit rasanya semakin eksotis saja.

 

Tidak hanya cuaca ekstrim yang sangat tidak ramah di tubuh, tapi juga efek-efek lain mulai terlihat dan terasa. Misalnya saja, di beberapa tempat, kualitas dan kuantitas air tanahnya kurang baik.

 

Karena alasan itulah, kami memutuskan untuk memilih rumah di daerah masih banyak pepohonan. Tujuannya, kami ingin mendapatkan air yang lebih berkualitas. Karena air adalah kehidupan. Ketika kita bisa mendapatkan air dengan kualitas dan kuantitas yang tepat, maka salah satu cara untuk hidup sehat telah dipilih.

 

Selain berdampak pada air yang terasa, perubahan iklim juga bisa terasa pada udara yang tidak bersih. Jember dulu berbeda dengan sekarang. Ketika pertama kali menyapa Kota Tembakau ini, suasana belum seramai saat ini.

 

Dulu, pusat perbelanjaan bisa dihitung dengan jari. Tapi, sekarang, ada tambahan dua pusat perbelanjaan besar yang masuk, ditambah 1 supermarket bahan bangunan terbesar dan cukup terkenal pun sudah berdiri megah di kota ini.

 

Tidak hanya itu, jumlah perumahan semakain bertambah. Itu artinya, lahan sawah, kebun, bahkan hutan semakin berkurang sedikit demi sedikit. Selain itu, bertambah juga jumlah kendaraan bermotor dan penggunaan CFCs untuk AC.


dampak perubahan iklim
Sumber: http://ditjenppi.menlhk.go.id/
 

Itu semua tentu saja memberi andil dalam pemanasan global, dan pada akhirnya mengakibatkan perubahan iklim. Sebenarnya kita tahu penyebab perubahan iklim ini. Namun, kita  lebih memilih untuk tidak peka dengan kondisi bumi yang sudah sangat menghkhawatirkan.

 

Aku sendiri tidak bisa berbuat banyak, tapi setidaknya ada hal kecil yang bisa menyembuhkan bumi kita, diantaranya:

  • Memilih rumah yang cukup pencahayaan dan sirkulasi udara, sehingga meminimalisir penggunaan AC

Bagiku dan suami, memiliki rumah yang banyak jendela dan ventilasi yang cukup, sangat penting. Selain lebih terang, hemat listrik, dan pastinya lebih sehat. 

 

  • Bijak dalam berkendaraan bermotor

Disadari atau tidak, asap kendaraan bermotor juga menyumbang penyebab pemanasan global. Jadi, sebisa mungkin lebih bijak, bijak dalam memilih bahan bakar yang tepat dan bijak pula dalam menggunakannya. Jika masih bisa dijangkau dengan jalan kaki, mengapa harus memaksa diri menggunakan kendaraan? Bukankah kita juga akan lebih sehat?

 

  • Menyediakan lahan untuk menanam tanaman

Tanaman selain menjadikan udara jauh lebih segar, rumah kita pun akan terlihat lebih rindang dan adem. Tidak hanya itu, kehadiran tanaman dan bunga di pekarangan, bisa menjadi cara untuk menyehatkan pandangan mata kita, loh.

 

  • Menggunakan air secukupnya

Air adalah kehidupan. Tidak akan ada kehidupan tanpa air. Jadi, dengan bersikap bijak dalam penggunaaan air, kita telah membantu bumi untuk tetap lestari.

 

  • Berusaha untuk paperless

Kadang kita tidak sadar dengan penggunaan kertas. Padahal di era digital ini, akan sanga memungkinkan untuk bisa mengurangi penggunaan kertas. Tahukah teman-teman, 1 batang pohon hanya menghasilkan 16 rim kertas? Dan, 1 batang pohon dapat menghasilkan oksigen untuk 3 orang bernapas? Jadi, ketika kita bisa berhemat dalam menggunakan kertas, dan mulai membiasakan diri memanfaatkan kecanggihan teknologi, maka kita telah berinvestasi okisigen untuk penduduk bumi ini.

 

  • Tidak membakar sampah

Terlihat sepele. Bahkan mungkin di daerah sekitar rumah kalian pun masih banyak yang melakukan ini. Padahal membakar sampah bisa menjadi penyumbang dari pemanasan global ini. Mungkin masih ada yang berpikir, kan yang dibakar hanya sedikit. Ya, sedikit. Tapi, kalau 1 RT, 1 RW bahkan  desa berpikiran seperti itu, apakah masih bisa dikatakan sedikit?

 

Itulah 6 hal kecil yang bisa aku lakukan #UntukmuBumiku agar ia tetap terjaga. Aku sadar, kalau aku bukan pembuat kebijakan. Aku juga bukan akademisi yang bisa mengedukasi sekaligus memprovokasi banyak orang untuk menjaga kelestarian bumi. Aku hanyalah seorang ibu yang ingin kelak anak-anakku masih merasakan udara yang bersih, hutan yang masih hijau, dan ketersediaan air yang cukup.


Jember memang bukan kota kelahiranku. Tapi saat ini, aku sedang berpijak dan melangkah di Kota Seribu Gumuk ini. Maka sebagai rasa berterima kasih, aku ingin berbuat sesuatu, meski terlihat kecil dan sederhana.


global warming effects
Sumber: https://www.kominfo.go.id/
 


Teman-teman, yuk jadi bagian #TeamUpForImpact untuk bumi yang lebih baik! Mungkin yang kita lakukan ini terlihat kecil, tapi bukankah sesuatu yang besar itu dimulai dari hal yang kecil? Karena sejatinya bumi ini dititipkan kepada kita untuk dijaga bukan untuk dirusak. Marilah kita berinvestasi untuk planet kita. Kalau bukan kita, siapa lagi? Kalau tidak dimulai saat ini, kapan lagi?

No comments:

Post a Comment