Follow Us @soratemplates

Tuesday, April 30, 2024

Lahiran di Faskes 1? Kenapa, Nggak?

lahiran normal di faskes 1
Genggaman erat, saling menguatkan 

 

Awalnya sempat maju mundur memutuskan untuk melahirkan di Faskes 1. Pengalaman melahirkan anak pertama dan kedua pun dua-duanya di Rumah Bersalin dan Rumah Sakit.

 

Sebenarnya dari hamil anak pertama, sudah ada niat kalau melahirkan ingin dibantu oleh Dokter Perempuan atau Bidan. Tapi, qodarullah, anak pertama lahir prematur di usia kehamilan 33 minggu. Bersyukur saat itu ditangani oleh Dokter Obgyn yang tepat. Meskipun harus memupus keinginan lahiran dengan Bidan atau Dokter Perempuan.

 

Ya, mungkin bagi teman-teman yang tinggal di daerah Bandung dan Cimahi sangat mengenal Dokter Nogy. Saat itu, dengan kondisiku yang mengalami pecah ketuban selama 2 hari. Dan, sebenarnya sudah tidak ada lagi air ketuban. Ditambah lagi usia kandungan masih 33 minggu. Tapi, dengan ketenangan beliau, aku bisa melahirkan secara normal dan anakku pun tidak perlu masuk incubator karena berat badan cukup serta kondisi bayi secara keseluruhan sehat.

 

Pada waktu hamil anak kedua pun, aku kembali mengatakan kepada suami kalau aku ingin lahiran dibantu Dokter Perempuan atau Bidan. Saat itu, kondisiku baru saja pindah dari Bandung ke Jember. Setelah tanya sana-sini, ternyata tidak ada Dokter Perempuan yang recommended. Tapi, bersyukur aku dipertemukan dengan Bidan Senior yang sangat baik. Aku pun sudah menyatakan kepada beliau kalau aku ingin melahirkan dibantu olehnya. Setiap periksa, seakan-akan aku sedang ngobrol dengan ibuku sendiri. Ah, kok jadi kangen beliau ya… hiks…

 

Tapi, terkadang rencana tidak selamanya bisa terealisasikan sesuai harapan. Aku mengalami kontraksi di tanggal merah. Otomatis Faskes 1 tempat aku periksa tutup dan akhirnya aku dibawa ke Rumah Sakit. Akhirnya aku dibantu oleh dokter laki-laki. Tapi, aku bersyukur juga karena beliau dokter yang sangat baik dan menenangkan juga. Orang Jember pasti kenal dengan dokter keturuna Arab ini. Terima kasih Dokter Fahmi, dokter yang nggak banyak bicara tapi sangat menenangkan dan selalu mengingatkan untuk selalu ingat sama Allah.

 

Terus, gimana ceritanya lahiran anak ketiga?

Nah, ini sebenarnya kalau ingat proses lahiran anak ketiga ini aku dan suami bakalan ngakak puas. Spill sedikit biaya lahiran ya, anak pertamaku yang lahir di 2015 biayanya sekitar 5 juta dan aku melahirkan tanpa rasa sakit (Pasti yang pernah periksa ke Dokter Nogy, tahu kalau beliau menggunakan metode ini). Lahiran anak kedua di tahun 2018, biayanya 3,5 juta dan aku pun hanya merasakan sakit yang tidak seberapa. Ketika harus dijahitpun, masih menggunakan anastesi. Terus, setelah lahiran bisa tidur di kasur yang empuk dan kamar nyaman.   

lahiran tanpa anastesi
Si Kembar :)

 


Lahiran anak ketiga? Only 450 ribu rupiah. Tapi, jangan dibayangkan kalau aku merasakan sakitnya dijahit tanpa anastesi. Aduh serasa lagi jahir baju yang sobek kali ya hahahah…

 

Lahiran Itu Yang Penting…

Setelah dua kali lahiran dibantu oleh Dokter Laki-laki, di kehamilan ketiga ini, aku benar-benar bertekad ingin melahirkan dibantu oleh Bidan atau Dokter Perempuan.

 

Gayung bersambut, pada saat usia kehamilan 4 bulan, di Faskes 1 tempat aku periksa biasanya menginfokan kalau ada pemeriksaan USG dengan Dokter Obgyn perempuan. Aku yang biasanya melakukan pemeriksaan USG di Dokter Obgyn anak keduaku dulu, akhirnya mencoba untuk menerima tawaran tersebut.

 

Awalnya aku merasa nyaman dengan dokter tersebut. Caranya menjelaskan membuatku puas dan paham. Namun, di saat usia kehamilan 30 minggu, beliau mengatakan kalau hasil pemeriksaan menunjukkan volume kepala janinku besar. Beliau juga menjelaskan kalau harus diobservasi 2 minggu dari hari itu.

 

Sepulang dari pemeriksaan USG, aku nangis di sepanjang perjalanan pulang. Aku langsung searching tentang penyebab volume kepala janin besar. Aku mulai overthinking. Dari mulai pulang dari pemeriksaan hingga seminggu, pikirannya sama sekali tidak tenang. Tiba-tiba nangis, bad mood, bahkan tak jarang jadi marah-marah tidak jelas. Ketakutan muncul dengan kondisi janin yang dijelaskan oleh dokter tersebut.

 

Hingga akhirnya suami memutuskan untuk mengajak periksa kembali ke Dokter Obgyn laki-laki yang biasa aku datangi. Tanpa banyak cerita sebelumnya kepada dokter, aku terus berdoa dan berharap apa yang dikatakan Dokter Obgyn seminggu yang lalu itu, salah.

 

Syukur alhamdulillah, ternyata Dokter mengatakan kondisi janinku sehat, air ketuban bagus, posisi juga sudah optimal. Ah, tenang rasanya mendengarkan penjelasan dokter tersebut. Akhirnya, sepulang dari sana, aku mengatakan tidak jadi melahirkan dibantu oleh Dokter Obgyn sebelumnya. Andaikan harus memilih, aku hanya ingin melahirkan dibantu oleh Bidan atau di tempat yang sama ketika melahirkan anak keduaku.

 

Menurutku, bagi seorang ibu hamil, ketenangan dan kenyamanan itu jauh lebih penting. Semua kata-kata positif akan jauh lebih membuat Si Ibu bahagia dan tentu saja efeknya pun akan positif kepada janin.

 

Sejak kejadian itu, suami terus memastikan untuk menentukan tempat melahirkan. Dan, aku pun dengan yakin ingin melahirkan dibantu Bidan saja. Entah keberanian dari mana. Tapi, aku pikir, ini adalah kehamilan terakhir, (aku dan suami sepakat untuk memiliki 3 anak saja), jadi aku tidak ingin melewatkan kesempatan untuk melahirkan dengan dibantu oleh sesame mahrom saja.

 

30 Juli 2023 dini hari, aku mulai merasakan kontraksi yang intens. Tapi, karena ini kehamilan ketiga, jadi aku masih bisa tetap santuy. Pagi hari setelah sarapan, nyuci dan jemur baju, aku pun masih menyempatkan olahraga di depan rumah.

 

Pukul 9 pagi, kontraksi semakin intens. Akhirnya, aku mengajak suami untuk segera mengantarku ke IGD dan Faskes 1. Sesampainya di sana, aku langsung disuruh masuk ke ruang bersalin dan diperiksa. Ternyata aku sudah pembukaan 2.

 

Sebenarnya kalau menurut teori, untuk anak ketiga ini, proses dari pembukaan 2 ke selanjutnya akan lebih cepat. Tapi, tahukah berapa jam aku harus menunggu?

 

Kalau boleh jujur, inilah proses melahirkan yang luar biasa paling melelahkan dan menyakitkan. Aku harus merasakan kontraksi dengan pembukaan yang sangat lambat naiknya dari mulai pukul 10 hingga waktu isya.

 

Karena kontraksi yang semakin kuat, tapi pembukaan masih belum bertambah, akhirnya Bidan menyarankan untuk diinfus. Aku memang sudah terlihat sangat lemas. Badan pun sudah terasa kedinginan.

 

Dengan kondisi yang sudah di luar batas kemampuan aku, pasrah adalah kata terakhir. Ya, aku pun berucap meminta maaf kepada suami, ibu mertua dan anak-anak. Saat itu aku sudah pasrah dengan takdir yang akan terjadi.

 

Namun, Allah masih memberikan aku kesempatan untuk bisa membersamai suami dan anak-anak. Setelah kata maaf dan pasrah itu terucap, air ketuban pun pecah. Bidan langsung memeriksa, dan kepala Adek Bayi mulai terlihat. Saat itu juga aku disuruh ngeden. Tepat adzan Isya berkumandang, terdengar tangis anak ketiga kami.

 

Faeyza Muhammad Hafidz Ar Rayyan Abidin. Sebuah doa yang tersemat dalam nama kami berikan untuk anak ketiga kami. Proses yang lebih panjang daripada kedua kakaknya, membuat kami belajar banyak dari kelahirannya.

 

Melahirkan di Faskes 1 ini memang banyak cerita ‘berbeda’ yang kami rasakan, khususnya aku pribadi. Tapi, kami bersyukur bisa ditemani Bidan-bidan yang baik dan sabar.

 

Terakhir, aku hanya ingin mengatakan, lahiran mau di manapaun yang terpenting ialah keyakinan kita. Kalau kita merasa yakin dan nyaman lahiran di Rumah Sakit, silakan. Kalau kita lebih memilih melahirkan di bantu Bidan pun, silakan. Setiap pilihan ada konsekuensinya masing-masing. Dokter dan Bidan juga sama-sama manusia, makhluk ciptaan Allah. Satu hal yang harus diingat, semua yang terjadi pasti atas izin Allah, jadi jangan lupa untuk berdoa dan berserah padaNya.


No comments:

Post a Comment