Genggaman erat, saling menguatkan
Awalnya
sempat maju mundur memutuskan untuk melahirkan di Faskes 1. Pengalaman melahirkan
anak pertama dan kedua pun dua-duanya di Rumah Bersalin dan Rumah Sakit.
Sebenarnya
dari hamil anak pertama, sudah ada niat kalau melahirkan ingin dibantu oleh
Dokter Perempuan atau Bidan. Tapi, qodarullah, anak pertama lahir prematur di
usia kehamilan 33 minggu. Bersyukur saat itu ditangani oleh Dokter Obgyn yang tepat.
Meskipun harus memupus keinginan lahiran dengan Bidan atau Dokter Perempuan.
Ya,
mungkin bagi teman-teman yang tinggal di daerah Bandung dan Cimahi sangat
mengenal Dokter Nogy. Saat itu, dengan kondisiku yang mengalami pecah ketuban
selama 2 hari. Dan, sebenarnya sudah tidak ada lagi air ketuban. Ditambah lagi
usia kandungan masih 33 minggu. Tapi, dengan ketenangan beliau, aku bisa
melahirkan secara normal dan anakku pun tidak perlu masuk incubator karena
berat badan cukup serta kondisi bayi secara keseluruhan sehat.
Pada
waktu hamil anak kedua pun, aku kembali mengatakan kepada suami kalau aku ingin
lahiran dibantu Dokter Perempuan atau Bidan. Saat itu, kondisiku baru saja
pindah dari Bandung ke Jember. Setelah tanya sana-sini, ternyata tidak ada
Dokter Perempuan yang recommended. Tapi, bersyukur aku dipertemukan dengan
Bidan Senior yang sangat baik. Aku pun sudah menyatakan kepada beliau kalau aku
ingin melahirkan dibantu olehnya. Setiap periksa, seakan-akan aku sedang
ngobrol dengan ibuku sendiri. Ah, kok jadi kangen beliau ya… hiks…
Tapi,
terkadang rencana tidak selamanya bisa terealisasikan sesuai harapan. Aku
mengalami kontraksi di tanggal merah. Otomatis Faskes 1 tempat aku periksa
tutup dan akhirnya aku dibawa ke Rumah Sakit. Akhirnya aku dibantu oleh dokter
laki-laki. Tapi, aku bersyukur juga karena beliau dokter yang sangat baik dan
menenangkan juga. Orang Jember pasti kenal dengan dokter keturuna Arab ini. Terima
kasih Dokter Fahmi, dokter yang nggak banyak bicara tapi sangat menenangkan dan
selalu mengingatkan untuk selalu ingat sama Allah.
Terus,
gimana ceritanya lahiran anak ketiga?
Nah,
ini sebenarnya kalau ingat proses lahiran anak ketiga ini aku dan suami bakalan
ngakak puas. Spill sedikit biaya lahiran ya, anak pertamaku yang lahir di 2015
biayanya sekitar 5 juta dan aku melahirkan tanpa rasa sakit (Pasti yang pernah
periksa ke Dokter Nogy, tahu kalau beliau menggunakan metode ini). Lahiran anak
kedua di tahun 2018, biayanya 3,5 juta dan aku pun hanya merasakan sakit yang
tidak seberapa. Ketika harus dijahitpun, masih menggunakan anastesi. Terus,
setelah lahiran bisa tidur di kasur yang empuk dan kamar nyaman.
Lahiran
anak ketiga? Only 450 ribu rupiah. Tapi, jangan dibayangkan kalau aku merasakan
sakitnya dijahit tanpa anastesi. Aduh serasa lagi jahir baju yang sobek kali ya
hahahah…
Lahiran
Itu Yang Penting…
Setelah
dua kali lahiran dibantu oleh Dokter Laki-laki, di kehamilan ketiga ini, aku
benar-benar bertekad ingin melahirkan dibantu oleh Bidan atau Dokter Perempuan.
Gayung
bersambut, pada saat usia kehamilan 4 bulan, di Faskes 1 tempat aku periksa
biasanya menginfokan kalau ada pemeriksaan USG dengan Dokter Obgyn perempuan. Aku
yang biasanya melakukan pemeriksaan USG di Dokter Obgyn anak keduaku dulu,
akhirnya mencoba untuk menerima tawaran tersebut.
Awalnya
aku merasa nyaman dengan dokter tersebut. Caranya menjelaskan membuatku puas
dan paham. Namun, di saat usia kehamilan 30 minggu, beliau mengatakan kalau hasil
pemeriksaan menunjukkan volume kepala janinku besar. Beliau juga menjelaskan
kalau harus diobservasi 2 minggu dari hari itu.
Sepulang
dari pemeriksaan USG, aku nangis di sepanjang perjalanan pulang. Aku langsung searching
tentang penyebab volume kepala janin besar. Aku mulai overthinking. Dari mulai
pulang dari pemeriksaan hingga seminggu, pikirannya sama sekali tidak tenang.
Tiba-tiba nangis, bad mood, bahkan tak jarang jadi marah-marah tidak jelas. Ketakutan
muncul dengan kondisi janin yang dijelaskan oleh dokter tersebut.
Hingga
akhirnya suami memutuskan untuk mengajak periksa kembali ke Dokter Obgyn laki-laki
yang biasa aku datangi. Tanpa banyak cerita sebelumnya kepada dokter, aku terus
berdoa dan berharap apa yang dikatakan Dokter Obgyn seminggu yang lalu itu,
salah.
Syukur
alhamdulillah, ternyata Dokter mengatakan kondisi janinku sehat, air ketuban
bagus, posisi juga sudah optimal. Ah, tenang rasanya mendengarkan penjelasan
dokter tersebut. Akhirnya, sepulang dari sana, aku mengatakan tidak jadi
melahirkan dibantu oleh Dokter Obgyn sebelumnya. Andaikan harus memilih, aku
hanya ingin melahirkan dibantu oleh Bidan atau di tempat yang sama ketika
melahirkan anak keduaku.
Menurutku,
bagi seorang ibu hamil, ketenangan dan kenyamanan itu jauh lebih penting. Semua
kata-kata positif akan jauh lebih membuat Si Ibu bahagia dan tentu saja efeknya
pun akan positif kepada janin.
Sejak
kejadian itu, suami terus memastikan untuk menentukan tempat melahirkan. Dan,
aku pun dengan yakin ingin melahirkan dibantu Bidan saja. Entah keberanian dari
mana. Tapi, aku pikir, ini adalah kehamilan terakhir, (aku dan suami sepakat
untuk memiliki 3 anak saja), jadi aku tidak ingin melewatkan kesempatan untuk
melahirkan dengan dibantu oleh sesame mahrom saja.
30
Juli 2023 dini hari, aku mulai merasakan kontraksi yang intens. Tapi, karena
ini kehamilan ketiga, jadi aku masih bisa tetap santuy. Pagi hari setelah
sarapan, nyuci dan jemur baju, aku pun masih menyempatkan olahraga di depan
rumah.
Pukul
9 pagi, kontraksi semakin intens. Akhirnya, aku mengajak suami untuk segera
mengantarku ke IGD dan Faskes 1. Sesampainya di sana, aku langsung disuruh
masuk ke ruang bersalin dan diperiksa. Ternyata aku sudah pembukaan 2.
Sebenarnya
kalau menurut teori, untuk anak ketiga ini, proses dari pembukaan 2 ke
selanjutnya akan lebih cepat. Tapi, tahukah berapa jam aku harus menunggu?
Kalau
boleh jujur, inilah proses melahirkan yang luar biasa paling melelahkan dan
menyakitkan. Aku harus merasakan kontraksi dengan pembukaan yang sangat lambat
naiknya dari mulai pukul 10 hingga waktu isya.
Karena
kontraksi yang semakin kuat, tapi pembukaan masih belum bertambah, akhirnya
Bidan menyarankan untuk diinfus. Aku memang sudah terlihat sangat lemas. Badan pun
sudah terasa kedinginan.
Dengan
kondisi yang sudah di luar batas kemampuan aku, pasrah adalah kata terakhir.
Ya, aku pun berucap meminta maaf kepada suami, ibu mertua dan anak-anak. Saat
itu aku sudah pasrah dengan takdir yang akan terjadi.
Namun,
Allah masih memberikan aku kesempatan untuk bisa membersamai suami dan anak-anak.
Setelah kata maaf dan pasrah itu terucap, air ketuban pun pecah. Bidan langsung
memeriksa, dan kepala Adek Bayi mulai terlihat. Saat itu juga aku disuruh
ngeden. Tepat adzan Isya berkumandang, terdengar tangis anak ketiga kami.
Faeyza
Muhammad Hafidz Ar Rayyan Abidin. Sebuah doa yang tersemat dalam nama kami
berikan untuk anak ketiga kami. Proses yang lebih panjang daripada kedua
kakaknya, membuat kami belajar banyak dari kelahirannya.
Melahirkan
di Faskes 1 ini memang banyak cerita ‘berbeda’ yang kami rasakan, khususnya aku
pribadi. Tapi, kami bersyukur bisa ditemani Bidan-bidan yang baik dan sabar.
Terakhir,
aku hanya ingin mengatakan, lahiran mau di manapaun yang terpenting ialah
keyakinan kita. Kalau kita merasa yakin dan nyaman lahiran di Rumah Sakit, silakan.
Kalau kita lebih memilih melahirkan di bantu Bidan pun, silakan. Setiap pilihan
ada konsekuensinya masing-masing. Dokter dan Bidan juga sama-sama manusia,
makhluk ciptaan Allah. Satu hal yang harus diingat, semua yang terjadi pasti
atas izin Allah, jadi jangan lupa untuk berdoa dan berserah padaNya.
No comments:
Post a Comment